0

Wawancara Abdullah Sunata dengan Majalah Tempo

Labels:


Pada situs Tempo (majalah.tempointeraktif.com), wawancara ini di posting 8 Maret 2006. Kini al akh al mujahid Abdullah Sunata tengah berada di istana uzlah Penjara Biadab Mako Brimob Depok (semoga Alloh melindungi dan segera membebaskannya). Mari kita simak wawancaranya. . .
Sunata memang tak setenar Imam Samudera, Faturrahman al-Ghozi, atau Noor Din M Top. Tapi bekas Komandan Laskar Mujahidin Ambon ini cukup disegani oleh anggota jaringan yang berjihad di Ambon. Bersama laskarnya, dia pernah menyabot gudang senjata Brimob di Tantui, Ambon, pada 2000. Dia juga malang-melintang di Poso dan punya jaringan dengan kelompok mujahidin di Poso, yang kerap disebut Mujahidin Kayamanya.
Ditangkap pada Desember 2005, Sunata dituduh terlibat aksi teror. "Saya tak pernah melancarkan terorisme di sini," ujarnya. Meski tak semua tuduhan itu terbukti, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi hukuman 7 tahun penjara bagi Sunata, Senin pekan lalu. Dia divonis bersalah menyimpan empat pucuk pistol FN, dan melakukan pertemuan dengan Noor Din M. Top. Sunata membela diri. "Saya justru menolak bekerja sama dengan Noor Din," ujarnya.
Kepada wartawan Tempo Nezar Patria yang mewawancarainya dalam beberapa kesempatan, Sunata buka kartu: tentang hubungannya dengan Noor Din, pandangannya tentang jihad, dan rencananya membunuh tokoh Jaringan Islam Liberal, Ulil Absar Abdalla.

Perkenalan Anda dengan teror terjadi di Ambon. Mengapa Anda berperang ke sana?
Di Ambon, kekejian tak kalah dengan di Bosnia. Di Galela, Ambon, saat konflik itu meledak, hampir 3.000 kaum muslimin terbunuh. Saya berangkat dari keprihatinan itu, dan meyakini apa yang terjadi di Ambon adalah jihad untuk mempertahankan diri dari kezaliman. Itu pemahaman saya soal jihad. Saat kaum muslimin di satu tempat diserang, dibantai, atau dibunuh, jihad menjadi wajib. Kondisi itu bisa terjadi di Ambon, Poso, Filipina Selatan, Thailand Selatan, Afganistan, Chechnya, Irak, dan lain-lain. Saya hanya ingin membantu.
Teror ala Jamaah Islamiyah (JI) membenarkan perlawanan dengan meledakkan bom di tempat sipil, bahkan di daerah yang tidak dalam keadaan perang. Anda setuju?
Saya tak banyak kenal dengan mereka yang disebut JI. Aksi bom secara syar'i di kalangan ulama memang masih menjadi kontroversi. Tapi saya tak mau membahas soal ini. Menurut saya, kasus aksi bom bunuh diri ini tidaklah berdiri sendiri. Terlepas dia benar atau tidak, pasti ada sebabnya. Ini bukan cuma di Indonesia melainkan juga di Timur Tengah, ter-utama daerah konflik seperti Iraq. Tak mungkin asap muncul tanpa api.
Anda menyebut kontroversi. Di kalangan pelaku pengebom, seperti apa perdebatannya?
Ya, kontroversi soal boleh atau tidak (aksi bom bunuh diri) itu dilakukan, atau tepatnya soal implikasi setelah aksi tersebut. Taruhlah, aksi seperti itu boleh saja dilakukan, tapi implikasi setelah itu kan perlu dipikir. Apa baik dan buruknya bagi umat Islam secara keseluruhan.
Anda tidak setuju bom bunuh diri?
Ya. Implikasinya terlalu besar. Saya melihat dampaknya bagi umat Islam secara keseluruhan. Tapi, kalau di Iraq atau Afganistan mungkin tak masalah. Situasi di sana berbeda dengan Indonesia. Lebih banyak mudaratnya bagi kaum muslim di sini. Meskipun saya setuju dengan target (aksi) itu, misalnya negara-negara yang memusuhi Islam.
Artinya, secara strategis, Anda setuju dengan aksi itu?
Ya. Secara strategis saya setuju. Terlebih untuk daerah yang berada dalam keadaan perang seperti Ambon. Atau sebagai contoh lain seperti di Palestina. Mereka tak punya persenjataan kuat melawan Israel. Kekuatan tak seimbang. Hanya dengan bom bunuh diri itu mereka bisa menekan Israel.
Di kalangan Anda, seberapa banyak orang yang berpikiran seperti Anda?
Saya tak tahu. Pemahaman saya (tentang jihad) seperti yang saya jelaskan tadi.
Pengadilan membuktikan Anda pernah bertemu Noor Din M. Top, buron nomor satu setelah Azahari tewas. Noor Din bahkan disebut-sebut meminta Anda membantu aksinya, namun Anda tolak. Mengapa?
Betul. Ketika saya menolak tawaran kerja sama itu, saya tak mengungkapkan kepada Noor Din alasan saya menolak dia. Saya hanya mengatakan sudah bermusyawarah bersama kawan-kawan dan kita berkesimpulan tak bisa bekerja sama dulu dengan program dia. Pertama, soal ini masih kontroversial di kalangan ulama. Kedua, implikasi dari aksi itu. Ketiga, soal reaksi, penangkapan yang pukul rata oleh polisi. Banyak guru mengaji yang tak tahu-menahu akhirnya turut tertangkap.
Anda menyebut "kawan-kawan", apa-kah mereka dari kelompok yang punya komitmen jihad tapi terpisah dari gerak-an JI?
Maksud saya, kawan-kawan itu adalah mereka yang sudah lama atau lebih dulu berinteraksi dengan Noor Din. Kalau Anda tanya saya kelompok mana, saya kira saya tak punya kelompok. Waktu berjihad di Ambon, saya bergabung bersama Kompak (Komite Penanggulangan Krisis). Lembaga ini berada dibawah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang berkantor di Kramat Raya 45, Jakarta.
Anda mengaku dua kali bertemu Noor Din. Secara pribadi apa yang menarik dari dia?
Sebenarnya saya tak begitu kenal pribadinya. Dua kali bertemu itu pun hanya sebentar. Pertemuan pertama di Pekalongan. Dia mengajak saya bergabung dan memaparkan programnya. Penjelasannya itu pun masih umum, tidak detail. Kita tak masuk ke pembicaraan seperti menentukan target.
Pertemuan kedua?
Pertemuan kedua di Surakarta, Desember 2004. Pertemuan itu dilakukan malam hari dan di tempat umum. Begitu singkat, saya sulit mendapat kesan pribadi tentang Noor Din (Di pengadilan, Sunata mengaku pertemuan kedua berlangsung di kampus Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta-Red.).
Anda tak punya kesan apa pun terhadap Noor Din?
Dia ramah, dan punya perhatian tinggi kepada kawan-kawan. Banyak yang bilang ke saya, sulit untuk mengatakan tidak kepada Noor Din. Pengetahuan agamanya tinggi, bahasa Arab dan Inggrisnya bagus. Kesan saya, pengetahuan manajemen organisasinya juga bagus.
Ada contoh khusus?
Misalnya begini. Dia punya perhatian mendalam kepada teman, meski baru pertama bertemu. Dia menanyakan kabar keluarga, apalagi kalau keluarga itu ada nama yang dia kenal. Jarang kan orang bertemu pertama langsung bertanya soal keluarga dan sebagainya. Tapi Noor Din seperti itu. Dia seperti punya perhatian lebih. Dari segi ilmu agama, argumentasinya kuat. Jadi, kalaupun saya menolak bekerja sama dan memberikan argumen, saya kira (argumen) saya juga bisa kalah. Makanya, saya menolak (bekerja sama) tanpa memberikan argumen.
Noor Din masih bebas. Menurut Anda, apa yang sebaiknya dia lakukan sekarang?
Saya tidak berhak menilai dia. Pertama, saya dan dia berbeda. Kedua, dia lebih senior dan lebih tua dari saya.
Selama Anda ditahan, kabarnya banyak rekan Anda didekati Noor Din?
Ya, mungkin. Tapi saya tak pernah memerintahkan atau melarang mereka. Saya memberikan kebebasan kepada mereka. Kalau mereka datang ke saya, pasti akan saya sampaikan pandangan saya.
Pada aksi bom Bali II, banyak anggota baru Noor Din yang bukan jebolan pesantren. Mengapa dia bisa cepat menanam pengaruh?
Dia mampu mempengaruhi orang. Saya merasakan itu sewaktu bertemu dia. Mungkin ilmu dia lebih tinggi. Yang mengatur pertemuan kami adalah Noor Din sendiri. Dia yang mengatur kurirnya dan lain-lain. Dia juga punya wibawa dalam soal ilmu agama.
Anda ditangkap karena dituduh membantu Umar Patek, salah satu buron bom Bali. Di mana Anda bertemu Umar?
Waktu itu bertemu di Jakarta. Umar Patek berdua dengan Dulmatin. Sebenarnya yang saya kenal Dulmatin, karena pernah bertemu di Ambon. Kenal pertama di sana sekitar tahun 2000.
Anda dekat dengan Dulmatin?
Saya tak kenal baik sebetulnya. Kami hanya bertemu waktu di Ambon. Kemampuan agama dan bahasa Arab Dulmatin saya kira di bawah Noor Din. Saya tak lama berinteraksi dengan dia.
Lalu mengapa Anda membantu Dulmatin kabur?
Saya tak tahu dia datang menemui saya di Jakarta. Entah dari mana dia mendapat nomor handphone saya. Waktu itu saya tak tahu kalau dia tersangkut bom Bali. Setelah beberapa kali bertemu baru saya mengerti identitas dia. Dia tak pakai nama Dulmatin, tapi Joko Amar. Saya mau membantu dia karena dia mau ke Filipina. Rutenya dari Jakarta, ke Poso, baru ke Filipina. Waktu itu Umar Patek memakai nama Salim.
Sampai ke Filipina, mereka masih kontak?
Ya, masih sempat mengabarkan bahwa sudah sampai di Filipina. Hanya sekali.
Waktu di Filipina, Anda satu angkatan dengan dia?
Waktu di Filipina, sekitar 2003, saya hanya sebentar. Saya berada di Cotabato.
Di Filipina Anda bergabung di kamp mana?
Waktu saya di sana tak ada lagi kamp, karena MILF (Moro Islamic Liberation Front) mengubah taktiknya dari perang frontal ke gerilya. Dulu memang mereka punya kamp. Tapi, begitu kamp Abu Bakar jatuh pada 2001, mereka menjalankan taktik gerilya. Saya hanya sepekan di sana, tapi kalau ditambah dengan waktu perjalanan, ya sekitar sebulan. Saya masuk dari Tawau.
Selama di Filipina, Anda sempat belajar taktik militer?
Waktu di Filipina tidak pernah. Saya hanya bersilaturahmi.
Lalu, dari mana pengalaman militer Anda?
Semua saya dapat waktu berinteraksi dengan mujahidin di Ambon terutama mujahidin lokal. Mereka ditekan dan tak punya kemampuan, padahal lawan mereka lebih canggih. Karena itu mereka kreatif, membuat senjata rakitan dan sebagainya. Saya berinteraksi dan belajar dari mereka (keterangan ini berlawanan dengan kesaksian Iqbal Husaini-salah satu rekan Sunata di Ambon pada 2001-kepada polisi. Iqbal mengakui mereka yang dikirim oleh Kompak Solo mendapat latihan militer selama sebulan, berupa bongkar pasang senjata, latihan menembak dengan senjata M16, membuat bom rakitan dan mem-baca peta-Red.).
Anda bertemu dengan para mujahidin jebolan Afganistan di sana?
Banyak berinteraksi juga. Sebagian saya belajar dari mereka dan sebagian tidak.
Selain di Ambon, pernah ikut aksi di mana lagi?
Saya pernah ke Poso. Tapi hanya sebentar. Di Ambon paling lama, sejak 1999 sampai 2003.
Anda juga dituduh menyalurkan dana untuk bom Kuningan?
Saya pun tidak mengerti mengapa saya dikaitkan dengan bom Kuningan. Padahal di pengadilan saya tak pernah terbukti memberikan dana buat bom Kuningan atau aksi bom teror lainnya di Indonesia. Tidak ada dana yang berasal dari saya, baik pada bom Kuningan maupun bom-bom lainnya. Tidak ada itu.
Tapi para saksi mengatakan bahwa Anda bertemu dengan Abu Muhammad, penyandang dana dari Timur Tengah?
Ya, saya akui, saya menerima dana sebanyak tiga kali dari syekh itu. Tapi itu semua saya salurkan ke Filipina. Setelah saya pulang dari Filipina, 2003, saya masih punya kontak dengan mereka. Suatu kali mereka kontak saya, dan minta untuk menemui seorang syekh di sini. Rupanya, mereka sudah pernah melakukan pembicaraan sebelumnya, dan saya hanya diminta menemui.
Anda kenal dengan Abu Muhammad?
Saya tak mengenal dia. Mereka minta tolong dan nomor telepon saya diberikan ke syekh itu. Ketika saya sudah di Jakarta, dia mengontak saya untuk bertemu. Saya berjumpa dia di Jakarta. Saya menduga dia orang Arab Saudi. Soalnya, teman Filipina yang mengontak saya itu pernah kuliah di Arab Saudi, jadi mungkin itu teman kuliahnya.
Berapa duit yang Anda terima?
Total selama tiga kali pertemuan sekitar Rp 350 juta. Jadi status saya hanya kurir. Semuanya saya kirim ke Filipina. Paling dipotong sedikit untuk ongkos kirim. Jadi, tak ada sepeser pun saya kirim untuk aksi teror di Indonesia.
Di pengadilan, Anda juga sempat dituduh memberikan perintah membunuh Ulil Abshar-Abdalla, tokoh gerakan Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Saya tak pernah memberikan order itu. Dan di pengadilan juga terbukti saya tak memberikan perintah itu. Teman-teman yang mengaku di berita acara pemeriksaan mendapat perintah dari saya karena mereka di bawah tekanan. Di pengadilan, hal itu tak terbukti. Memang, saat saya ditanya apa status orang seperti Ulil dalam pandangan syariat, saya tegas (menentang). Mungkin karena tegas ini ada yang mengartikan saya menyuruh membunuh Ulil.
Lalu, apa sebenarnya pandangan Anda atas pemikiran Ulil?
Orang-orang seperti Ulil itu, yang punya pandangan sekuler, menurut saya sudah keluar dari Islam. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa soal ini, bahwa haram dan murtad orang Islam yang punya pandangan sekuler.
Apakah perbedaan seperti itu memang harus diselesaikan dengan membunuh?
Tentu tidak dengan cara anarkis seperti itu. Kalau bisa dinasihati dengan argumen, kan tak perlu cara seperti itu. Ini masalah dakwah. Saya melihat MUI sebagai patokan. Saya kira fatwa itu sudah sangat keras dan tegas. Bukan hanya JIL, tapi secara umum, juga sekularisme dan liberalisme.
Tapi bukankah orang seperti Ulil justru mencoba memberikan pembaruan pemikiran Islam?
Perbedaan dalam Islam itu memang ada. Para ulama sudah menyebutkan, dan itu ada yang bersifat furu'iyah. Atau seperti yang diungkap oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya I'tidal Sirothol Mustaqim, ada perbedaan yang bersifat dilarang, dan ada yang dibolehkan. Jadi, kita harus punya batasannya. Empat imam saja berbeda. Tapi, kalau sudah masuk ke hal yang pokok seperti aqidah, itu tak bisa berbeda.
Jadi, apa yang diperjuangkan Ulil, bagi Anda, sudah keluar dari aqidah Islam?-
Ya, apa yang disampaikan Ulil banyak berkutat di soal aqidah. Aqidah adalah soal yang pasti. Dia bukan masalah fiqih. Misalnya, keimanan kepada Allah, itu soal yang pasti bagi Islam. Paham liberalisme ini, kalau kita lihat sejarahnya, justru untuk merusak Islam dari dalam.
Ide dasar sekularisme adalah memisahkan agama dari politik?
Islam itu adalah politik. Ibnu Taimiyah menulis Siyasatul asy Syar'i (Politik Syariat). Ini juga menunjukkan Islam itu luas dan universal. Islam berbicara tentang masalah sosial, budaya, dan tata negara.
Dulu, di Cipayung, Anda dikenal anak badung. Apa yang membuat Anda berubah?
Ini soal hidayah, soal keimanan. Saya akui dulu saya anak nakal. Saya suka berkelahi antar-geng. Pernah ditangkap polisi juga gara-gara berantem. Ketika saya bertemu ustad di Masjid Nurul Hidayah Cipayung, saya menemukan hakikat Islam. Waktu itu saya duduk di kelas tiga STM.
Ada bacaan yang memberikan inspira-si Anda "berjihad"?
Semua buku soal jihad saya senang. Ada juga buku Abdullah Azzam, mujahid dari Afganistan yang sangat mempengaruhi kaum mujahidin sedunia. Beliau adalah ulama yang terjun langsung ke dalam pertempuran. Dia tahu benar kondisi sebenarnya di lapangan itu. Dia juga berinteraksi dengan ulama lain dari berbagai negeri. Karena itu Afganistan menjadi bumi jihad Islam seluruh dunia, yang didukung para ulama. Karya Abdullah Azzam yang saya gemari adalah Tarbiyah Jihadiyah (Edisi Indo-nesia buku ini sudah diperbanyak oleh salah satu penerbit di Solo, terdiri atas lebih dari selusin jilid-Red) dan Dibawah Naungan Surat At-Taubah.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/
http://tegoeh.multiply.com/journal/item/455/Al_Akh_Al_Mujahid_Abdullah_Sunata_Diwawancara_Tempo

Berikut sekilas profil al akh al mujahid Abdullah Sunata
Nama: Abdullah Sunata alias Arman Kristianto alias Andri

Tanggal lahir: 4 Oktober 1978
Tempat lahir: Bambu Apus, Cilangkap
Pendidikan:
  • Sekolah Teknik Menengah (STM) Cijantung (1997)
  • Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur-an- Al-Manar, Utan Kayu (2000-2001)
  • Guru TPA- di Masjid Nurul Hidayah, Cipayung (1997-1999)
  • Ketua Kompak Ambon dan Poso (1999-2003)

0 comments:

Posting Komentar