0

Buletin Al Islam Edisi 516


Kekuatan Asing (Penjajah) di Balik Isu Referendum Papua

[Al Islam 516] Meski tidak menjadi berita besar, isu referendum (jajak pendapat umum) di Papua akhir-akhir ini sebetulnya sangat penting untuk diwaspadai. Setelah konflik Aceh pasca MoU Helsinky, kini gejolak menyeruak kembali di Papua. Saat ini gejolak lebih besar dipicu oleh aksi-aksi politis yang dilakukan masyarakat sipil. Demontrasi besar, misalnya, terjadi pada tanggal 18 Juni, dilanjutkan aksi ribuan warga Papua pada tanggal 8 Juli 2010. Aksi pada awal bulan Juli ini dikoordinasikan oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FDRPB). Forum ini menghimpun elemen-elemen sipil terdiri dari; DAP, PDP, WPNA, Solidaritas Perempuan Papua, PGGP, Sinode GKI, GIDI, Kemah Injil, Baptis Papua, Pantekosta, KNPB, AMPPTPI, AMWP, Front Papera, Garda-P, Forum Independen Mahasiswa,Bem/Senat Mahasiswa Se-Jayapura, dan OKP-OKP se-kota/Kab. Jayapura-Sarmi-Kerom. Dengan semboyan “Satu Tanah, Satu Hati, Satu Bangsa dan Satu Tujuan”, mereka bergerak mendesak DPR Papua melaksanakan sidang paripurna guna menindaklanjuti aksi demo tanggal 18 Juni 2010 dalam rangka menyerahkan hasil musyawarah masyarakat Papua. Tuntutannya adalah mengembalikan Otsus (otonomi khusus) sekaligus menuntut referendum.
Tentu, ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, jika Pemerintah tak cermat, Papua akan mengalami kontraksi politik yang bisa berujung pada disintegrasi (pemisahan diri), sebagaimana halnya Timor-Timur yang telah lepas dari pangkuan negeri ini.
Latar Belakang Tuntutan Referendum
Luas seluruh Papua adalah 309.934,4 km², sama dengan 3,5 kali Pulau Jawa. Wilayah ini subur dengan kandungan mineral dan potensi SDA (sumber daya alam) yang melimpah; dari mulai hutan, tambang emas, tembaga hingga uranium. Dari sisi geopolitik pun, Papua sangat strategis.
Namun, dengan potensi SDA Papua yang demikian besar, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Papua termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Tingkat kemiskinan masyarakatnya juga sangat merisaukan. Padahal Papua telah terbukti memberikan banyak keuntungan dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah kepada perusahaan lokal, nasional maupun multinasional (asing). Namun, Papua seolah hanya menjadi pundi-pundi kekayaan dan sapi perah kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dan pihak asing, termasuk para elit penguasanya.
Pemerintah Indonesia melalui Otonomi Khusus Papua yang dituangkan dalam UU No 21 Tahun 2001 berusaha mengubah keadaan di atas. Sayang, Otsus seolah menjadi bumerang. Pasalnya, setelah berjalan 9 tahun, Otsus dirasakan tidak berpengaruh apa-apa, kecuali kepada segelintir elit politiknya. Dana Otsus yang mencapai rata-rata 10juta/warga Papua juga tidak memberikan perubahan berarti. Kondisi inilah yang mendorong sebagian masyarakat Papua (lebih tepatnya; elit politiknya) menyuarakan tuntutan referendum (yang arahnya adalah merdeka atau minimal berformat federalisme). Referendum dianggap sebagai pilihan akhir untuk mengubah keadaan itu semua.
Ada beberapa analisis mengapa wacana referendum mencuat. Pertama: karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua tidak dilaksanakan secara konsisten dan serius oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketidakseriusan ini terlihat pada adanya kebijakan-kebijakan yang kontra dengan UU Otsus Papua tersebut. Hal ini menjadi kendala sekaligus memunculkan berbagai masalah penerapannya di lapangan. Jadinya UU Otsus seperti tidak bergigi. Misal, di lapangan ditemukan Pemerintah Provinsi Papua mengaku hingga saat ini hanya ada sekitar 20 persen dari 380-an pemerintahan distrik atau kecamatan yang melaksanakan aktivitasnya dengan baik. Kondisi tersebut disebabkan masih minimnya sarana dan prasarana bagi pemerintahan distrik itu. Pemerintahan distrik sangat sedikit sekali melakukan pelayanan kepada masyarakat. Jika distrik sebagai ujung tombak pemerintah terdepan tidak memiliki kapasitas untuk membangun maka perubahan nasib warga Papua seperti menggantang asap, alias tidak akan berubah.
Kedua: UU Otsus Papua mengandung blunder politik terkait dengan peran lembaga-lembaga adat dalam melahirkan kebijakan-kebijakan politik di Papua. Pemerintah dianggap tidak memperhatikan pandangan/pendapat dari MRP (Majelis Rakyat Papua) yang dipandang mewakili lembaga-lembaga adat Papua. Inilah yang menjadi salah satu pemicu ketidakpuasan masyarakat Papua.
Ketiga: Pemerintah dianggap tidak serius dalam mewujudkan Pasal 34 UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua ini. Terkait ayat 3 (yakni: Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus), tidak ada realisasi atas pembagian hasil Sumber Daya Alam (SDA) Papua antara Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan Pasal 34 UU Otsus Papua.
Keempat: Pelanggaran HAM yang dilakukan sejak 1963 hingga kini belum ditangani. Padahal UU Otsus Papua menghendaki hal itu. Para korban pelanggaran HAM dibiarkan. Orang Papua belum merasakan keadilan. Oleh sebab itu, bagi orang Papua, Pemerintah gagal melaksanakan UU Otsus Papua. Sekalipun triliunan rupiah sudah dikucurkan, mayoritas orang Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan. Karena tidak merasakan manfaatnya maka rakyat Papua mengembalikan UU Otsus secara simbolik kepada pemiliknya, yakni Pemerintah melalui DPR Papua, dan menuntut referendum.
Peran Negara Asing (Penjajah)
Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, faktor pemicu tuntutan ini perlu dipecahkan. Lepasnya Timor-Timor menjadi pengalaman sangat pahit. Sementara itu, Papua jauh lebih besar potensi SDA-nya dibandingkan Timor-Timur. Jika penguasa saat ini tidak mengubah kebijakan dan orentasi pembangunannya, niscaya Pemerintah akan menelan buah simalakama demokrasinya. Dalam ruang demokrasi tidak ada lagi sumbatan bagi setiap warga, khususnya warga Papua, untuk menyerukan keinginannya, bahkan di forum-forum internasional, termasuk PBB. Apalagi Papua adalah ladang subur tempat melampiaskan ketamakan para kapitalis asing melalui instrumen negaranya untuk melakukan penjajahan sekaligus mengeruk habis kekayaan Papua.
Indonesia harus mencermati ‘dalang’ di balik tuntutan referendum ini. Sebab, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elit politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (pihak gereja dan LSM-LSM asing). Namun, sesungguhnya mereka hanyalah ‘alat’. Kepentingan negara-negara besarlah, khususnya Amerika dan Australia, yang memainkan peran penting di Papua. Sesungguhnya negera-negera penjajah inilah yang memiliki kepentingan dan bakal meraih keuntungan jika Papua merdeka atau memisahkan diri melalui referendum yang sedang diusahakan oleh mereka. Jika ini tidak dicermati Pemerintah, boleh jadi nasib Papua nanti akan seperti Timor Timur; lepas begitu saja dari pangkuan Indonesia.
Banyak ‘bukti’ yang menunjukkannya adanya dukungan Australia dalam membantu para pemberontak di Papua, baik secara langsung atau melalui New Guinea, yang juga menyediakan tempat yang aman kepada para pemberontak separatis di samping dukungan finansial dan militer. Kebijakan yang sama telah dilakukan Australia terhadap provinsi-provinsi di Indonesia selama puluhan tahun, seperti dalam kasus Aceh dan Timor Timur. Amerika juga mulai mengungkapkan keprihatinan besarnya atas konflik di Papua ketika tahun 2005 Kongres AS memutuskan untuk menerapkan klausul: berdasarkan apa Papua telah menjadi bagian dari Indonesia. Pada bulan Juni 2007, Utusan Khusus HAM Sekjen PBB, Hina Jilani, mengunjungi propinsi Aceh dan Papua. Ia membahas ‘pelanggaran HAM’ di dua provinsi itu. Pada bulan Juli 2007 ketua Subkomite Parlemen (Kongres AS) di Asia, Pasifik dan Global, Eni Faleomavaega, mengatakan, “Jika Pemerintah Indonesia tidak mampu menangani dengan baik isu Papua, kami akan memberinya kemerdekaan.”
Semua itu tentu saja menunjukkan betapa Amerika dan Australia begitu bersemangat untuk ‘melepaskan’ Papua dari Indonesia dengan memanfaatkan konflik-konflik yang terjadi di provinsi ini.
Solusi Islam
Indonesia adalah negeri Islam. Papua adalah bagian dari negeri Islam ini. Karena itu, wajib bagi kaum Muslim untuk mencegah para penguasa negeri ini melepaskan Papua, sebagaimana mereka dulu ‘melepaskan’ begitu saja Timor Timur.
Untuk mengurangi pengaruh dan provokasi Gereja (kaum Kristen) di sana, wajib pula bagi umat Islam untuk menyebarkan seruan Islam di kalangan orang Kristen di sana. Caranya adalah dengan mengundang mereka untuk melakukan perdebatan dengan cara terbaik. Mereka juga harus diingatkan bahwa hak-hak orang Kristen dilindungi di negeri-negeri Muslim.
Selain itu, penguasa harus menyadari bahwa politik sekular tidak memiliki kapasitas untuk membangun seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua, menjadi makmur, sejahtera dan berkeadilan. Sudah saatnya penguasa negeri ini menerapkan sistem Islam. Penguasa wajib menerapkan hukum syariah yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya atas semua wilayah di negeri ini tanpa diskriminasi, antara satu provinsi dan lainnya. Dalam sistem Islam (Khilafah), semua orang yang memiliki kewarganegaraan negara akan memiliki hak yang sama, terlepas dari keturunan mereka atau agama mereka. Di sisi lain, penguasa wajib mencegah aksi separatis dan menanganinya secara adil di antara masyarakat.
Dalam Islam tidak diizinkan untuk memberikan otonomi untuk setiap provinsi yang bisa memicu kemunculan gerakan separatis. Ini dilarang (haram) dan merupakan kejahatan berat dalam Islam. Karena itu, salah besar memberikan otonomi kepada Papua. Karena itu pula, otonomi wajib dibatalkan dan Papua harus dibawa kembali di bawah pemerintahan pusat.
Umat Islam wajib untuk mencegah penguasa melepaskan wilayah Papua. Karena itu, kaum Muslim wajib mengerahkan tekanan dan bekerja untuk mengubah sistem sekular yang ada karena sistem inilah yang memungkinkan terjadinya pemecahbelahan negeri Muslim terbesar ini. Umat ini selanjutnya harus berupaya mendirikan negara Khilafah. Khilafahlah yang pasti bakal mampu mencegah aksi separatis dan menanganinya secara adil di antara masyarakat. Khilafah juga akan menerapkan hukum syariah Islam atas semua orang di negeri ini tanpa diskriminasi antara satu provinsi dan lainnya, juga tanpa melihat keturunan atau agama mereka.
Karena itu, marilah setiap diri kita berlomba mewujudkan cita-cita besar ini. Allah SWT berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan Mukmin, sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik (QS an-Nahl [16]: 97).
KOMENTAR AL-ISLAM:
Penegakkan Hukum Alami “Krisis” Keadilan (Kompas, 20/7/2010).
Keadilan hanya ada pada hukum Islam yang ditegakkan oleh orang-orang yang bertakwa.

Sumber : 
- Buletin Al Islam edisi 516 
 

0 comments:

Posting Komentar