0

BAGAIMANA SEBENARNYA PAJAK DALAM ISLAM ???

Labels:

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana sebenarnya Islam memandang pajak?? Ada ga sih, pajak dalam Islam itu?? Klo ada, bagaimana pengelolalannya?? Terus, sama ga, pengertiannya dengan pajak di zaman kapitalis kaya sekarang?? Klo beda, di mna bedanyanya?? Dan apa saja keunggulannya??

SEMOGA TULISAN INI BISA MENJAWAB RASA PENASARAN KAMU..

Dalam perekonomian Kapitalis, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang.[1] Di luar kedua sumber utama penerimaan negara tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari restribusi (pungutan/ semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang kertas, hasil undian negara (seperti SDSB), dan hadiah (hibah).[2]

Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal. Pertama dilihat dari pos Bagian Fai dan Kharaj. Dalam bagian ini, sebagian seksi-seksi penerimaan Baitul Mal berhubungan langsung dengan dakwah dan jihad. Daulah Khilafah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan jika berhasil melakukan penaklukan (futuhat) baik di negeri-negeri Islam yang sebelumnya berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa kafir,[3] maupun di negeri-negeri bangsa kafir itu sendiri, maka akan banyak pemasukan Baitul Mal dari anfal atau ghanimah (spoils),[4] fai (booties),[5] dan khumus.[6] Jadi semakin Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad semakin banyak harta pemasukan bagi Baitul Mal dari harta rampasan perang (the spoils of war).

Pemasukan lainnya adalah kharaj (the land tax). Kharaj merupakan hak kaum Muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian dari ghanimah) dari orang-orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai.[7] Terhadap tanah kharaj dan tanah kharajiyah (negeri taklukan yang penduduknya telah masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Albania, Bosnia, Negeri-negeri di Asia Tengah maka disana berlaku kharaj (the land tax) sampai kiamat. Setiap penduduk (Muslim dan non Muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan membayar kharaj kepada negara. Nilai kharaj yang diambil oleh negara atas tanah tersebut dihitung berdasarkan kandungan tanahnya dengan memperhatikan kondisi lingkungan tanah tersebut.[8] Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah ‘usyuriyah yang wajib dikeluarkan zakatnya.[9]

Seksi pemasukan lainnya adalah jizyah (the head tax). Jizyah merupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam.[10] Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin dalam Daulah Khilafah. Pihak yang wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, telah baligh dan berakal sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Juga jizyah tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya.[11]

Sumber penerimaan lainnya dalam bagian ini adalah˜Usyur.˜Usyur dipungut terhadap pedagang penduduk kafir harby atas barang dagangan mereka yang melewati perbatasan negara. Tindakan ini dilakukan sebagai perlakuan setara karena negara mereka telah melakukan pungutan (cukai) atas pedagang Muslim yang melewati perbatasan negara merek€a. ˜Usyur juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan, disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan mereka yang salah satu poinnya menyebutkan tentang˜usyur ini, tetapi jika ˜usyur tidak disebutkan dalam perjanjian damai maka tidak boleh mengambil ˜usyur dari pedagang kafir dzimmi.[12] Jadi ˜Usyur dipungut karena adanya sebab-sebab syara. Sedangkan jika tidak ada sebab-sebab seperti di atas, maka pungutan terhadap perdagangan lintas negara (cukai) hukumnya haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Uqbah bin ‘Amir, Nabi SAW bersabda:

Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai (pajak)

Selain itu, jika negara mengalami suatu kondisi sehingga Baitul Mal tidak mampu membiayai kewajiban-kewajibannya, maka kewajiban ini beralih kepada kaum Muslimin. Dengan kondisi seperti ini, negara berhak memungut pajak (dlaribah/ taxes) terhadap kaum Muslimin. [13]

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS. Adz-Dzariyaat: 19)

Sesungguhnya pada harta benda itu ada hak (untuk diambil) di luar zakat. (HR Turmudzi)


Pajak ini hanya dikenakan terhadap kaum Muslimin, dan tidak boleh terhadap warga negara non Muslim. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang ma'ruf.

Jumlah pajak yang dipungut secara makro harus ekuivalen dengan jumlah kebutuhan Baitul Mal yang dipergunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, sehingga pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Kemudian jika kebutuhan Baitul Mal telah terpenuhi dan Baitul Mal sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus dihentikan.
[14]

Negara juga mendapatkan penerimaan dari 1/5 harta rikaz,[15] harta warisan yang tidak ada lagi ahli warisnya,[16] harta tidak sah yang dimiliki pejabat negara dan harta orang murtad.

Dilihat dari penerimaan Bagian Fai dan Kharaj ini terdapat perbedaan yang jelas dengan sumber utama penerimaan negara yang menerapkan Sistem Ekonomi Kapitalis. Pajak dalam Kapitalisme ditetapkan melalui undang-undang yang dibuat di parlemen sehingga bagaimana pajak diterapkan sangat tergantung kepada isi kepala dan keinginan para anggota parlemen dan pemerintah, sedangkan dalam Islam ditetapkan berdasarkan nash-nash syara.

Secara substansi pajak dalam Kapitalisme diterapkan terhadap perorangan, badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, terhadap barang-barang produksi, barang-barang perdagangan dan jasa sehingga secara keseluruhan masyarakat dibebankan pajak secara berganda. Pajak ini diterapkan dari tingkat pusat sampai daerah dengan berbagai jenis dan nama pajak. Tentu keadaan ini sangat membebani perekonomian (inefisiensi) dan menyebabkan harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok jauh di atas harga sewajarnya. Sedangkan dalam Islam pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum Muslimin), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum Muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.


Jika perekonomian sedang krisis sehingga membawa dampak terhadap keuangan negara karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak merosot seiring dengan merosotnya aktivitas ekonomi, maka negara Kapitalis menghadapi dilema apakah meningkatkan penerimaan pajak (dengan menaikan tarif pajak) supaya beban keuangan negara tertutupi tetapi beban masyarakat menjadi bertambah, ataukah memilih mengurangi beban masyarakat dengan menurunkan tarif pajak supaya perekonomian masyarakat kembali bergairah tetapi penerimaan negara menjadi turun. Namun pada akhirnya langkah yang ditempuh pemerintah dalam sistem ekonomi ini, baik dalam keadaan krisis ataupun tidak, dalam keadaan keuangan negara defisit ataupun surplus semuanya harus ditutupi dengan hutang,[17] di samping pengurangan dan penghapusan subsidi, pengurangan anggaran untuk rakyat, privatisasi BUMN dalam rangka liberalisme ekonomi.

Bagi negara-negara berkembang, sebagian besar ketidakmampuan keuangannya ditutupi dengan jalan melakukan pinjaman luar negeri.[18] Akibatnya negara-negara kreditur dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB termasuk IMF dapat mengontrol kebijakan ekonomi dan politik negara yang bersangkutan sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir di negara tersebut sangat merugikan rakyatnya sendiri dan hanya memberikan keuntungan kepada negara-negara kreditur, investor asing dan swasta.[19]

Di negara-negara maju defisit anggaran selalu ditutupi dengan pinjaman domestik. Pemerintah akan mengeluarkan obligasi dan menjualnya kepada para investor dari dalam dan luar negeri. Pada akhirnya beban hutang luar negeri dan hutang domestik akan menjadi beban rakyat, karena pembayaran hutang tersebut diperoleh melalui pajak.



Sebaliknya di dalam Islam, jika keuangan negara mengalami krisis karena pos-pos penerimaan negara dari Bagian Fai dan Kharaj, Bagian Pemilikan Umum, dan Bagian Shadaqah tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, maka kewajiban-kewajiban tersebut beralih kepada kaum Muslimin. Juga akibat krisis ekonomi yang menyebabkan warga negara jatuh miskin otomatis mereka tidak dikenai beban pajak baik jizyah maupun pajak atas orang Islam sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan biaya yang diambil dari orang-orang Muslim yang kaya. Sedangkan melakukan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju dan berkembang sekarang ini, menurut syara tidak diperbolehkan, karena utang tersebut hanya akan menyebabkan kaum Muslimin berada dalam kekuasaan asing dan para investor, serta pinjaman ini termasuk riba.

Jika negara-negara Kapitalis hanya memiliki pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, maka tidak demikian dengan Sistem Ekonomi Islam. Masih ada dua bagian sumber-sumber penerimaan di dalam Baitul Mal yang semuanya itu merupakan sumber utama penerimaan negara, yaitu Bagian Pemilikan Umum dan Bagian Shadaqah.

Sistem Ekonomi Kapitalis tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu pemilikan individu (private proverty) dan pemilikan negara (state proverty). Sistem ini juga menempatkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan selama diperoleh dengan cara-cara yang sah menurut hukum Kapitalisme.[20]

Maka tidaklah aneh jika suatu badan usaha ataupun sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak boleh dimiliki oleh individu dan bebas diperjualbelikan. Tidak aneh jika tambang minyak dan gas bumi, tambang emas dan tembaga, separuh hutan Indonesia (pada masa Orba hingga sekarang) dikuasai oleh beberapa konglomerat, sehingga kekayaan alam Indonesia yang merupakan bagian dari pemilikan umum tersebut jatuh manfaatnya ke tangan segelintir individu saja. Akibatnya rakyat tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari kekayaan alam anugerah Tuhan tersebut melainkan kerusakan alam akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Negara hanya mendapatkan tetesan kekayaan alam tersebut dari pajak ataupun dari hasil production sharing (bagi hasil) yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan yang diperoleh individu yang memiliki pertambangan tersebut. Dan kalaupun negara ingin mendapatkan kekayaan dari pertambangan maka negara harus mendirikan badan usaha yang menggali pertambangan tersebut ataupun mengolahnya menjadi barang yang sudah jadi seperti Pertamina dan PT Timah. Akan tetapi inipun bukan sebagai bagian dari pemilikan umum, namun hanya merupakan milik negara yang sewaktu-waktu oleh negara dapat dijual kepada swasta ataupun kepada asing.

Pengakuan Islam akan kepemilikan umum (Al Milkiyyah al Ammah/ collective proverty) selain kepemilikan individu dan kepemilikan negara, didasarkan pada dalil syara berikut:

Dari Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi SAW, Rasulullah bersabda:

Kaum Muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.

Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasulnya.

An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah:[21]

1. Fasilitas/ Sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/ komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, jalan-jalan umum.

2. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya.

3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, danau.


Sumber penerimaan Baitul Mal dari Bagian Pemilikan Umum yang mempunyai potensi sangat besar dalam membiayai pengeluaran Baitul Mal adalah dari barang tambang dan sumber daya alam. Negeri-negeri Islam yang sebagian besar terletak di bagian Selatan bumi ini telah dianugerahi Allah SWT dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Anugerah ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan negara.

Satu contoh kekayaan alam Indonesia yang jatuh ke tangan asing adalah pertambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia di Irian. Menurut laporan Kompas, kawasan pertambangan Blok A yang dikuasai PT Freeport mengandung 2.615 juta ton biji batu-batuan dan dengan perkiraan kasar setiap tonnya mengandung 1 gram emas, maka paling tidak PT Freeport akan mendapatkan emas sebanyak 2.615 miliar gram emas. Jika harga 1 gram emas Rp 100 ribu, maka nilai kekayaan yang dikeruk PT Freeport dari perut bumi Indonesia setara dengan Rp 261,5 trilyun dan belum termasuk jenis logam lainnya.[22]

Jenis pertambangan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada PT Freeport termasuk dalam pemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai dan dieksploitasi oleh indvidu atau swasta baik asing maupun dalam negeri. Sebaliknya ia adalah milik umat sehingga menjadi aset yang dicatat dalam Bagian Pemilikan Umum Baitul Mal, dan Daulah Islamiyah wajib (memagari dan) mengelolanya dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umat.

Sumber pemasukan Baitul Mal yang ketiga adalah Bagian Shadaqah. Bagian ini meliputi, pertama; zakat ternak unta, sapi dan kambing. Kedua; zakat tanaman (hasil pertanian) dan buah-buahan. Ketiga; zakat nuqud/mata uang (emas dan perak), dan keempat; zakat atas keuntungan dari perdagangan.[23]

Zakat merupakan suatu kewajiban kaum Muslimin dan salah satu pilar dari rukun Islam. Seorang Muslim yang membayar zakat merupakan implimentasi (ibadah ritual) hubungannya dengan Allah SWT seperti halnya seorang Muslim yang melaksanakan kewajiban shalat, puasa dan ibadah haji.

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43)

Tugas negara adalah memungut zakat dari kaum Muslimin dan mengumpulkannya di Baitul Mal pada pos Bagian Shadaqah, kemudian menyalurkannya sesuai ketentuan syara.[24] Jika wajib zakat menolak membayar zakat, maka negara berhak memaksanya agar memenuhi kewajibannya.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. (QS. At-Taubah: 103)

Zakat tetap dipungut oleh negara selama masih ada orang yang wajib zakat, dan tidak akan dihentikan kewajiban ini meskipun harta zakat yang terkumpul di Baitul Mal melimpah sedangkan orang yang berhak menerimanya tidak terdapat lagi di dalam negeri. Jadi fungsi negara dalam mengelola zakat semata-mata karena implimentasi ibadah ritual kaum Muslimin terhadap Allah SWT, bukan karena alasan ekonomi.

wassalam.
source FB: Media Islam Online

0 comments:

Posting Komentar