JAKARTA - Unjuk rasa yang digelar di berbagai kota di Indonesia menunjukan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Dalam satu tahun pemerintahan SBY-Boediono, masyakarat menilai hanya kegagalan, karena amanah rakyat dan janji-janji saat kampanye banyak yang tidak terealisasi.
Alhasil, dalam berberapa sektor penting, masyarakat memberi rapor merah bagi pemerintahan SBY-Boediono. Munculnya gerakan parlemen jalanan dengan berbagai isu, pada dasarnya respons terhadap lemahnya kinerja pemerintah dan memblenya peran oposisi DPR di Senanyan, sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah. Nyaris, peran mengkritisi kebijakan eksekutif ini oleh lembaga legislatif semakin mengkhawatirkan.
Hal inilah yang disinyalir Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak) Fadjroel Rachman masa di mana pemerintahan SBY menuju rezim Orde Baru jilid II. "Kalau tidak ada koreksi kami dari parlemen jalanan, rezim SBY ini seperti Orde Baru saat Soeharto berkuasa di mana peran oposisi parlemen tidak ada," terang dia kepada okezone, Kamis (21/10/2010).
Sayangnya, kata dia, kritik dan masukan-masukan dari rakyat melalui aksi jalanan tidak didengar. "Tapi buat kami ini bukan masalah, kami akan terus mengkritisi sehingga jika tidak didengar terus apa yang disuarakan rakyat, tinggal tunggu waktunya saja, rezim SBY terguling," ungkap Fadjroel.
Berdasarkan pengalaman penggulingan Soeharto dan Gus Dur, kata dia, kritik yang dilakukan terus-menerus akan semakin membesar mampu mendongkel presiden dari kursinya. "Saat pemerintahan SBY-Boediono dinyatakan gagal, maka sudah seharusnya presiden mundur. Tapi aksi ini kan tidak untuk menggulingkan SBY-Boediono, hanya mengingatkan akan masalah-masalah yang harus dituntaskan," jelasnya.
Dia merujuk dalam penegakan hukum, masih ada skandal Century yang juntrungannya tidak jelas. Begitu juga dengan kasus mafia hukum. Selain itu, dalam penegakan HAM, rapor SBY-Boediono masih merah. Kecuali dalam ekonomi makro dengan angka-angka kenaikan, namun sebetulnya dalam ekonomi mikronya rakyat masih terpuruk dengan mahalnya kebutuhan pokok.
Sebab itu menurut Fadjroel, aksi massa di berbagai daerah dari kelompok mahasiswa dan masyarakat bisa dikatakan sebagai bentuk merayakan lahirnya oposisi parlemen jalanan untuk mengkritisi kelemahan-kelemahan pemerintah, yang semestinya peran itu dijalankan DPR.
"Sekarang PDIP pun yang awalnya kritis sudah tidak lagi, tak ada jalan lain ya oposisi parlemen jalananlah yang digerakan," bebernya.
Unjuk rasa ditujukan sebagai upaya korektif untuk mengingatkan betapa fatal persoalan korupsi, ketimpangan sosial di berbagai daerah, kemiskinan, dan pelanggaran HAM. Klaim masyarakat satu tahun pemerintahan SBY gagal juga tidak berlebihan. Sebab, SBY sudah satu periode berkuasa yang seyogianya pada masa jilid kedua pemerintahannya belum ada perubahan yang signifikan. Wajar jika muncul dari berbagai pelosok suara sumbang kekecewaan.
Karenanya, pemerintahan SBY-Boediono memang harus terus diingatkan. Tanpa ada koreksi dari masyarakat, ditambah tumpulnya fungsi DPR sebagai penyeimbang pemerintah, rezim SBY akan tidak jauh beda dengan masa Orde Baru. Jika-aksi jalanan ini tidak direspons pemerintah, maka unjuk rasa selanjutkan akan semakin marak dan bermunculan di berbagai daerah akibat ketidakpuasan terhadap kinerja SBY-Boediono.
Hal ini juga sejalan hasil survei LSI terhadap 1.000 orang di 33 provinsi terkait enam bidang kehidupan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan di bidang luar negeri hanya 42,6 persen, ekonomi 43,9 persen, politik 49,2 persen, dan penegakan hukum 49,5 persen. Publik mengaku cukup puas dengan kinerja pemerintahan di bidang sosial, yakni 60,2 persen dan keamanan 63,2 persen.
Labels:
Berita Nasional
0 comments: