MANIFESTO HIZBUT TAHRIR
UNTUK INDONESIA
INDONESIA, KHILAFAH DAN
PENYATUAN KEMBALI DUNIA ISLAM
Oleh:
Hizbut Tahrir Indonesia
2009
DAFTAR ISI
INDONESIA, KHILAFAH DAN
PENYATUAN KEMBALI DUNIA ISLAM
Mukadimah
Bab I. Sistem Pemerintahan
Bab II. Sistem Ekonomi
Bab III. Sistem Peradilan
Bab IV. Sistem Pergaulan
Bab V. Media dan Informasi
Bab VI. Politik Luar Negeri
Bab VII. Politik Dalam Negeri
Bab VIII. Strategi Pendidikan
Bab IX. Tentang Hizbut Tahrir
Seruan Hizbut Tahrir Indonesia
Penutup
MUKADDIMAH
INDONESIA - TITIK AWAL TEGAKNYA KHILAFAH
Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam
Meskipun memiliki daratan dan lautan yang lebih luas, dengan tentara yang lebih banyak dan kekayaan alam yang melimpah; begitu juga dengan sumberdaya manusia yang lebih, dari segi jumlah maupun kualitas; tapi umat Islam saat ini, dibanding dengan umat lain di dunia, tetaplah tidak bisa disebut sebagai umat yang terbaik (khayru ummat), seperti yang katakan oleh Allah SWT dalam al-Quran. Umat Islam kini terpuruk di segala bidang. Hidup dalam kondisi terpecah-belah ke dalam lebih dari 57 negara dengan berbagai problem yang membelit. Kondisinya demikian buruk, hingga tidak mampu bersaing dengan negara-negara kecil yang boleh jadi tidak nampak di peta dunia.
Tidak terkecuali Indonesia. Sekalipun memiliki tentara dalam jumlah cukup besar dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia,[1] serta memiliki potensi sumberdaya pertanian dan kekayaan mineral yang sangat melimpah, tapi semua itu tidak mampu membuat rakyatnya hidup dalam kebaikan. Justru sebaiknya, rakyat hidup dalam penderitaan. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, ketidakadilan dan berbagai problem lain, termasuk penjajahan dalam segala bentuknya, senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat dari negara Muslim terbesar di dunia ini. Semua potensi dan kekayaan alam yang dimiliki seolah tidak memberikan arti apa-apa buat hidup rakyatnya.
Mengapa semua itu terjadi? Bila ditelaah secara jernih, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya semua persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia Islam, termasuk Indonesia, berpangkal pada tidak adanya kedaulatan as-Syari’. Atau dengan kata lain, tidak adanya sistem Islam di tengah-tengah masyarakat. Masalah utama ini kemudian memicu terjadinya berbagai persoalan ikutan, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kedzaliman, ketidakadilan, disintegrasi dan penjajahan dalam segala bentuknya, baik penjajahan secara langsung seperti yang kini terjadi di Irak dan Afghanistan, ataupun penjajahan secara tidak langsung di lapangan ekonomi dan politik. Allah SWT. menjelaskan sumber dari berbagai persoalan itu dalam firman-Nya:
ô`tBurâ uÚtôãr& `tã Ìò2Ï ¨bÎ*sù ¼ã&s! Zpt±ÏètB %Z3Y|Ê ÇÊËÍÈ á
“Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Q.s. Thaha [20]: 124)
Karena itu, jika ada satu atau lebih negeri Islam saat ini menjelma menjadi sebuah Daulah Khilafah, yang di dalamnya diterapkan sistem Islam, niscaya negara tersebut akan menjadi titik awal bagi proses reunifikasi atau penyatuan kembali seluruh dunia Islam menuju terwujudnya sebuah negara yang paling kuat di dunia. Sejak kemerdekaan hingga lebih dari enam dekade, sekulerisme mengatur Indonesia, terlepas dari siapa pun yang berkuasa. Tidak diterapkannya sistem Islam telah nyata membawa negara ini dalam keterpurukan. Rakyat Indonesia terus menerus hidup dalam berbagai krisis yang tidak berkesudahan.
Sesungguhnya kegagalan sistem sekuler, baik berbentuk diktatorisme ataupun demokrasi, merupakan sebuah keniscayaan, karena sistem sekuler itu telah memberikan hak kepada manusia, bukan Allah SWT – Sang Pencipta manusia dan alam semesta - untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah; mana yang halal dan mana yang haram. Maka, tidaklah mengherankan bila banyak berbagai perkara yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT justru dilakukan, seperti riba atau bunga bank, pornografi-pornoaksi, dan bekerjasama dengan orang-orang kafir untuk memerangi umat Islam. Sebaliknya, banyak perkara yang jelas-jelas diwajibkan oleh Allah SWT justru diabaikan, seperti menerapkan uqubat (qishash, rajam, potong tangan dan sebagainya), mengirim pasukan untuk membela negeri-negeri Muslim yang terjajah, menjaga darah dan kehormatan umat Islam, melindungi kemurnian akidah Islam serta memenuhi berbagai kebutuhan pokok untuk seluruh umat manusia.
Hanya Islam yang Bisa Membangkitkan Umat Islam
Sistem sekuler yang saat ini diterapkan di Indonesia, juga di negeri-negeri Muslim lainnya, tidak akan pernah bisa menghasilkan kebaikan dan kemajuan, karena sistem itu adalah sistem yang rusak dan berbenturan dengan akidah Islam. Sistem ini telah nyata-nyata menjauhkan umat Islam dari harta miliknya yang paling berharga, yaitu kecintaan kepada agama Allah SWT. Karenanya, sistem ini tidak pernah sungguh-sungguh mendapatkan dukungan dari umat. Bagaimana akan tercipta kebaikan dan kemajuan dalam sebuah masyarakat bila sistem yang diterapkan tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari rakyatnya?
Bila sistem yang diterapkan sejalan dengan akidah umat, maka akan terbentuk sinergi yang produktif antara sistem dan umat, sehingga akan terjadi dinamika luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Dalam bentangan sejarah dunia, Islam terbukti berhasil membangkitkan masyarakat, dari yang sebelumnya hidup dalam kebodohan dengan sebuah kebangkitan yang luar biasa dan tidak pernah bisa ditandingi oleh kebangkitan yang terjadi dalam masyarakat manapun; menjadi sebuah masyarakat yang mulia, mengawali terbentuknya sebuah peradaban agung yang berkemajuan. Itulah masyarakat Islam pertama dalam naungan Daulah Islam, yang disebut juga Daulah Khilafah pertama di Madinah al-Munawwarah. Selama lebih dari satu milenium, peradaban Islam nan gemilang itu menjadi mercusuar bagi seluruh umat manusia.
Dalam masyarakat Islam, sistem Islam bekerja mengatur masyarakat dengan sebaik-baiknya sehingga kerahmatan yang dijanjikan benar-benar dapat terwujud. Dalam kaitannya dengan perlindungan kaum minoritas, misalnya, telah terbukti Khilafah mampu melindungi mereka. Ketika orang-orang Yahudi terpaksa harus mengungsi akibat praktik inkuisisi yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Spanyol pada abad ke-15, mereka mendapat perlindungan dari Khalifah Bayazid II. Wilayah Negara Islam menjadi tempat tinggal mereka yang baru. Nyatalah bahwa Daulah Khilafah menjadi tempat yang nyaman bagi siapa pun. Semua warga negara Daulah Khilafah, tanpa memandang keyakinan, agama, ras dan bahasa, baik Muslim maupun non-Muslim, dijamin akan menikmati keadilan dan keamanan. Keadaan seperti ini tentu tidak bisa dipenuhi oleh sistem selain Islam. Karena itu, wajar bila kemudian Daulah Khilafah mendapatkan loyalitas dari rakyat yang hidup di dalam naungannya, termasuk dari kalangan non-Muslim. Pasukan Salib yang datang menyerbu wilayah Syam ketika itu, terhenyak ketika mereka mendapati kenyataan bahwa mereka harus berhadapan dengan pasukan yang seagama, yakni orang-orang Kristen di Syam, yang terjun dalam kancah peperangan untuk mempertahankan Daulah Khilafah, yang telah dianggap sebagai negara mereka sendiri.
Kebangkitan umat Islam di masa lalu terbukti mampu menciptakan kemajuan di segala bidang, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan di bidang ekonomi. Itu semua menjadi monumen peninggalan sejarah dunia yang tak terlupakan. Dalam bidang ilmu kedokteran dan astronomi misalnya, Daulah Khilafah jauh lebih maju dibanding dengan negara-negara lain pada waktu itu. Buktinya, universitas-universitas di berbagai wilayah Islam saat itu menjadi tempat utama buat orang-orang Eropa, termasuk para pangeran dan putri dari berbagai kerajaan di Eropa, untuk menimba ilmu. Salah satu ukuran orang berilmu ketika itu adalah kemampuannya dalam menguasai bahasa Arab, karena bahasa Arab seakan menjadi kunci harta karun ilmu yang memang saat itu kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab.
Daulah Khilafah juga menjamin tersedianya akses bagi semua orang untuk mendapatkan kekayaan. Di saat yang sama mencegah kekayaan tersebut terpusat di tangan segelintir orang. Sepanjang kepemimpinan Daulah Khilafah, ketersediaan berbagai kebutuhan pokok (primer) bagi seluruh warga negara berhasil diamankan. Sementara itu, kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) senantiasa terbuka bagi semua orang. Demikian sejahteranya masyarakat di masa Khalifah Umar bin Abdul Azis, misalnya, pernah terjadi di wilayah Afrika, harta zakat tidak bisa dibagikan di sana karena tidak ada seorang pun yang layak menerimanya. Demikian pula selama berabad-abad di bawah pemerintahan Islam, masyarakat di anak benua India menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Dalam konstelasi politik internasional, Daulah Khilafah menjadi negara nomor satu selama berabad-abad tanpa pesaing. Daulah Khilafah berhasil menyatukan berbagai sumberdaya yang luar biasa besar yang dimiliki umat Islam dalam sebuah institusi negara yang luasnya mencapai tiga benua. Khilafah telah menggariskan sebuah kebijakan yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan dan kebenaran, hingga ia mampu menjadi pemimpin bangsa-bangsa yang ada. Kabar tentang tentang keadilan Daulah Khilafah tersebar luas melintasi perbatasan wilayah kekuasaannya. Hal ini membuat banyak sekali manusia tertarik untuk masuk Islam. Saat wilayah-wilayah itu direbut oleh pasukan Tartar dan tentara Salib, umat Islam di tempat itu tidak sedikit pun menyerah. Mereka terus berjuang hingga akhirnya berhasil merebut kembali wilayah itu dan mengakhiri penjajahan di sana.
Inilah umat terbaik (khayru ummah) yang diturunkan oleh Allah SWT, yang menjadi contoh bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT:
öNçGZä.â uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 ÇÊÊÉÈ á
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110)
Kondisi semacam ini insya Allah dapat diwujudkan kembali asal umat Islam mau kembali kepada rahasia kejayaan Islam, yakni diterapkannya sistem Islam secara kaffah melalui Daulah Khilafah di satu atau lebih negeri Muslim yang kuat, sebagai titik awal proses penyatuan kembali atau reunifikasi seluruh dunia Islam.
Kewajiban Menegakkan Islam Sebagai Pedoman Hidup
Umat Islam wajib melaksanakan Islam sebagai diin (agama) yang sempurna secara kaffah. Mereka wajib melaksanakan syariah (hukum Islam) seputar pernikahan, perceraian, jual-beli, dan jihad defensif untuk membebaskan wilayah yang dijajah, sebagaimana wajib melaksanakan syariah seputar ibadah, seperti puasa, shalat, zakat, haji dan sebagainya. Mereka akan diminta pertanggungjawaban atas setiap kelalaian dalam pelaksanaan kewajiban ini.
Adapun hukum-hukum lain yang penerapannya menjadi wewenang Khalifah atau kepala negara, seperti hukum seputar sanksi (‘uqubat), jihad ofensif untuk menyebarluaskan dakwah Islam, hukum kepemilikan negara dan hukum tentang Khilafah itu sendiri, maka seorang pun tidak berhak untuk melaksanakan hukum tersebut kecuali Khalifah. Dalam perkara ini, umat Islam dalam kondisi apapun wajib untuk menaatinya.
Hanya dengan melaksanakan sistem Islam secara kaffah, umat Islam dan manusia secara keseluruhan akan kembali dapat menikmati kehidupan yang adil, damai dan sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT. Dalam kehidupan seperti itulah, umat Islam dapat merealisasikan ketundukan, ketaatan, dan kepasrahannya kepada Allah SWT. Inilah realisasi dari misi hidup untuk beribadah kepada Allah SWT secara nyata. Bersamaan dengan itu, umat Islam terus berusaha menyiapkan kemampuan diri untuk memimpin bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.
Satu-satunya institusi yang mampu melaksanakan tugas tersebut adalah sebuah kekuasaan yang menerapkan sistem Islam secara murni dan menyeluruh (kaffah). Institusi yang dimaksud tidak lain adalah Daulah Khilafah. Dalam al-Quran, Allah SWT dengan tegas memerintahkan kepada setiap Muslim untuk bertahkim (memutuskan hukum) hanya berdasarkan pada apa yang telah ditetapkan Allah SWT:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Qs. Al-Maaidah [5]: 48)
Begitulah, hidup di bawah naungan Daulah Khilafah dipastikan akan sejalan dengan akidah umat dan sejalah pula dengan kebutuhan riil masyarakat seperti tersedianya fasilitas kesehatan (rumah sakit, rumah obat, dll), sarana pendidikan (sekolah atau kampus, perpustakaan, fasilitas laboratorium, dll), serta berbagai infrastuktur untuk melayani masyarakat; karena, setiap manusia tentu ingin menjalani hidup di dunia ini dengan baik (hasanah). Karena itu, merupakan kewajiban Daulah Khilafah untuk menyediakan itu semua. Sebab, Daulah Khilafah adalah Daulah Ri’ayah (negara yang mengurusi kehidupan rakyat).
Untuk tujuan itu, dalam sistem pemerintahan Islam, negara ditopang oleh sejumlah struktur yang ditetapkan oleh syariah, diantaranya Khalifah (kepala negara), para Mu’awin (pembantu khalifah), para Wali (kepala daerah), hingga para Qadhi (hakim), petugas administrasi, dan Majelis Umat. Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, terdapat berbagai ketentuan syariah yang berkaitan dengan tanah, kepemilikan, industri, perdagangan dalam dan luar negeri, dan sistem lainnya, yang semua itu akan menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan di atas. Sementara terkait dengan politik luar negeri, terdapat ketentuan syariah tentang kewajiban membangun tentara yang kuat dengan kemampuan dan perlengkapan yang memadai guna mengemban tugas dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Semua kewajiban syariah di atas dan yang sejenis wajib dilaksanakan oleh Khalifah, bukan yang lain. Dan seluruh umat Islam wajib melakukan pengawasan dan koreksi agar pelaksanaan kewajiban itu berjalan dengan baik.
Khilafah: Sebuah Kebutuhan
Manifesto ini akan memberikan gambaran singkat tentang Khilafah dan hal-hal yang akan dilakukan oleh Khilafah untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Topik yang akan dibahas antara lain mengenai:
- Khalifah yang dipilih oleh umat, memerintah hanya dengan syariah Islam saja, bukan dengan hukum sekuler, baik yang bercorak kapitalistik maupun sosialistik.
- Anggota Majelis Umat, baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai mazhab, ras dan bahasa serta agama, yang dipilih oleh rakyat dan bertugas untuk mengoreksi kebijakan Khalifah menurut sudut pandang Islam.
- Mahkamah Madzalim yang akan mengadili para penguasa, termasuk Khalifah, atas berbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Khalifah tidak berhak mengganti qadhi Mahkamah Madzalim yang sedang menangani sebuah kasus terkait dengan kebijakan Khalifah.
- Sebuah masyarakat yang bisa menghimpun seluruh warganegara, tanpa melihat perbedaan agama, mazhab, jenis kelamin, bahasa maupun ras.
- Proses penyatuan kembali seluruh Dunia Islam menjadi sebuah negara yang paling kuat di dunia, yang dilakukan melalui sebuah kebijakan yang progresif serta usaha pembebasan negeri-negeri Muslim yang terjajah.
- Sistem ekonomi yang memberikan jaminan kepada seluruh warga negara untuk mendapatkan kebutuhan primer dan akses untuk terpenuhinya kebutuhan sekunder, serta jaminan ketersediaan kebutuhan pokok (primer) bagi kalangan yang kurang mampu.
- Industri berat, termasuk industri penghasil mesin, motor, dan elektronik. Sebuah kebijakan industri yang menjamin upaya pengembangan teknologi mutakhir, termasuk teknologi energi nuklir, pengembangan energi alternatif, elektronik nirkabel, nanoteknologi, dan perjalanan luar angkasa.
- Pembebasan dari segala bentuk penjajahan baik politik maupun ekonomi, termasuk penjajahan melalui pinjaman luar negeri yang disertai bunga maupun penguasaan sumber-sumber kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
- Pendidikan dengan standar internasional bebas bea bagi seluruh warganegara, tanpa memandang agama, mazhab, kekayaan maupun pengaruh.
- Sebuah negara yang akan memimpin dunia dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebuah negara yang akan menyuarakan harapan seluruh umat manusia, termasuk bangsa-bangsa di kawasan Afrika dan Asia serta Amerika Latin yang saat ini ditindas oleh negara-negara penjajah.
BAB I
SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM
KETUNDUKAN HANYA KEPADA ALLAH SWT,
BUKAN KEPADA MANUSIA
Mengangkat Khalifah adalah Kewajiban Seluruh Muslim
Allah SWT mewajibkan umat Islam mengatur hidupnya dengan syariah Islam. Allah SWT berfirman:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. al-Maaidah [5]: 48)
Khilafah adalah sebuah kekuasaan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah yang akan memimpin Daulah Khilafah dan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Maka, tegaknya Daulah Khilafah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian dalam upaya untuk menegakkannya merupakan dosa besar. Rasulullah Muhammad saw. memerintahkan umat Islam untuk memberikan bai’at kepada seorang Khalifah. Nabi menggambarkan bahwa kematian seorang Muslim yang tidak memberikan bai’at (kepada seorang Khalifah) merupakan kematian yang sangat buruk, dengan menyebutnya sebagai mati jahiliyah:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً »
“Dan barangsiapa mati, sementara tidak ada bai’at di pundaknya, maka matinya (dalam keadaan) jahiliyah.” (Hr. Muslim)
Dengan syariah Islam, Khilafah memelihara seluruh urusan umat manusia. Jika syariah tidak diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, maka kedaulatan Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud secara nyata. Maka kerahmatan Islam yang dijanjikan juga tidak bisa dirasakan secara nyata pula.
Jadi, Khalifah bisa dikatakan sebagai wakil umat dalam pemerintahan untuk penerapan syariah Islam. Khalifah adalah kepala negara Daulah Khilafah. Islam memberikan hak kepada umat untuk memilih Khalifah yang dikehendakinya untuk mengurus kehidupan mereka. Melalui bai’at, calon khalifah yang menang dalam pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka, tidak boleh ada paksaan dalam pemilihan Khalifah. Pemilihan harus berlangsung atas dasar prinsip ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan kebebasan memilih), sebagaimana umat Islam di masa lalu telah memberikan bai’at kepada keempat Khulafa’ur Rasyidin secara sukarela. Bai’at kepada Khalifah diberikan umat dengan syarat Khalifah yang terpilih akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Khilafah Bukan Sistem Diktator, Bukan Pula Sistem Demokrasi
Khilafah adalah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator, tapi juga bukan sistem Demokrasi. Salah satu prinsip penting dari Khilafah, yang sekaligus membedakan dari sistem lainnya baik diktator maupun demokrasi, adalah bahwa kedaulatan, yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan halal dan haram, ada di tangan syariah, bukan di tangan manusia. Karena itu, baik Khalifah maupun umat, sama-sama terikat kepada syariah Islam. Khalifah wajib menerapkan syariah Islam dengan benar, sesuai dengan ketetapan Allah dalam al Quran dan As Sunnah. Tidak boleh sesuka hatinya. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maidah [5]: 44) "
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Maidah [5]: 45) "
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Maidah [5]: 47)
Sementara, dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan manusia, bukan di tangan Allah SWT, Dzat yang Maha Menciptakan manusia dan alam semesta. Atas nama kebebasan, sistem demokrasi telah membuat manusia, melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif bertindak sebagai tuhan, yang merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan keinginan mereka. Kredo demokrasi mengatakan ”suara rakyat adalah suara tuhan (vox populei vox dei). Suara mayoritas menjadi penentu kebenaran, betapapun buruknya sebuah keputusan atau pemikiran. Ketika sudah didukung suara mayoritas, maka keputusan atau pemikiran itu seakan telah menjadi benar. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada hakikatnya sistem demokrasi ini bertentangan sama sekali dengan Islam. Karena itu, umat Islam tidak boleh menerima, menerapkan, dan mendakwahkan sistem demokrasi ini dan sistem apapun lainnya yang dibangun di atas prinsip demokrasi. Allah SWT telah berfirman:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali ’Imran [3]: 19)
Peran Wakil Rakyat dalam Daulah Khilafah
Syariah Islam telah mengizinkan umat Islam untuk memilih wakil mereka dalam menjalankan urusan mereka. Pada kesempatan Bai’at Aqabah Kedua, Rasulullah mengatakan:
«أَخْرِجُوْا إِلَيَّ مِنْكُمْ اِثْنَيْ عَشَرَ نَقِيْبًا لِيَكُوْنُوْا عَلَى قَوْمِهِمْ بِمَا فِيْهِمْ»
“Ajukan kepadaku dua belas pemimpin, agar mereka menjadi pemimpin bagi kaumnya.”
Dalam Daulah Khilafah, wakil rakyat yang menjadi anggota Majlis Umat dipilih oleh umat, bukan ditunjuk atau ditetapkan oleh Khalifah. Akan tetapi, sebagaimana Khalifah, mereka tidak berhak menetapkan hukum, karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka, tetapi di tangan syariah. Majlis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan ketat dalam mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak mendatangi Majlis Ummat untuk bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan dengan pengaturan urusan umat.
Tapi, musyawarah ini bukanlah untuk mentapkan hukum, menentukan yang halal menjadi haram, atau sebaliknya yang haram menjadi halal. Maka, dalam Daulah Khilafah tidak boleh ada musyawarah untuk misalnya, menetapkan kebijakan privatisasi sumberdaya energi, karena ini merupakan perkara yang diharamkan Islam. Demikian pula, tidak boleh ada musyawarah dalam perkara-perkara yang diwajibkan Islam, seperti perlu-tidaknya mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, atau menjadikan akidah Islam sebagai asas sistem pendidikan, atau menyatukan seluruh negeri Islam ke dalam wadah Daulah Khilafah.
Mengenai keanggotan Majlis Umat, warga negara non-Muslim bisa menjadi anggota Majlis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa) jika ada penyimpangan dalam penerapan syariah Islam atau kedzaliman terhadap diri mereka. Akan tetapi, anggota Majlis Umat yang non-Muslim itu tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariah yang ditetapkan oleh Khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syariah.
Proses Pengambilan Keputusan
Islam tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi juga memberikan aturan yang rinci. Sebagai contoh, dalam aspek ekonomi ada sejumlah syariah yang mengatur tanah pertanian, riba, mata uang, kepemilikan umum dan berbagai pendapatan negara. Berkaitan dengan kebijakan luar negeri, ada sejumlah ketentuan syariah mengenai jihad, perjanjian internasional, dan hubungan diplomatik. Demikian pula dalam aspek pemerintahan, syariah Islam mengatur masalah pemilihan, bai’at, pengangkatan para wali (kepala daerah) dan syarat mengenai pemakzulan penguasa. Khalifah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi. Khalifah tidak dibenarkan bersikap mengikuti kehendak pribadinya. Khalifah juga tidak membutuhkan dukungan mayoritas anggota Majlis Umat untuk menerapkannya.
Adapun menyangkut ketentuan yang mengandung ikhtilaf, syariah telah memberikan hak kepada Khalifah untuk mengadopsi pendapat yang menurut pertimbangannya mempunyai dalil syara’ yang paling kuat, dan kemudian menetapkannya sebagai undang-undang negara. Abu Bakar ra, pada masa awal kekhilafahannya, telah menolak pendapat mayoritas sahabat tentang hukuman bagi orang yang menolak membayar zakat. Beliau memilih mengirimkan pasukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Umar bin Khaththab ra tetap menerapkan hasil ijtihadnya tentang persoalan tanah Irak, walaupun Bilal ra dan para sahabat lainnya tidak setuju. Meski demikian, Khalifah tidak akan mengadopsi salah satu pendapat yang berkaitan dengan masalah pribadi atau cabang-cabang akidah. Dalam hal ini, umat dibolehkan mengikuti pendapat atau hasil ijtihad yang berbeda. Jadi, perbedaan pendapat dalam masalah ini dibolehkan ada di tengah masyarakat.
Dalam perkara-perkara yang dipahami publik dan bersifat praktis, Khalifah terikat dengan pendapat mayoritas. Misalnya tentang lokasi yang paling strategis untuk mendirikan universitas di sebuah daerah. Dalam hal ini Khalifah wajib mengikuti pendapat mayoritas. Dalam musyawarah menjelang Perang Uhud, misalnya, Rasulullah dan para sahabat senior berpendapat sebaiknya pasukan Quraisy dihadapi di dalam kota Madinah. Akan tetapi, mayoritas sahabat yang muda berpendapat sebaiknya menyambut pasukan Quraisy di luar kota Madinah. Maka pendapat mayoritas itulah yang kemudian dilaksanakan, sekalipun ini bertentangan dengan pendapat Rasulullah saw dan para sahabat senior.
Adapun dalam perkara-perkara yang memerlukan keahlian, maka Khalifah akan bermusyawarah dengan para ahli, bukan dengan masyarakat awam. Setelah bermusyawarah, Khalifah akan mengadopsi pendapat yang dianggap memiliki hujjah (argumentasi) paling kuat. Dalam hal ini, pendapat mayoritas ahli tidak menjadi pertimbangan utama, karena pendapat yang memiliki argumentasi paling kuat tidak selalu dipegang oleh kelompok mayoritas. Misalnya dalam masalah kelangkaan listrik, setelah melakukan musyawarah dengan para ahli, Khalifah akan memberikan keputusan final apakah akan membangun pembangkit listrik dengan energi nuklir, energi matahari, atau melakukan konversi dari energi bahan bakar minyak ke batu bara. Model pengambilan keputusan seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah menjelang perang Badar, di mana Rasulullah saw akhirnya memindahkan camp pasukan Islam setelah melakukan musyawarah dengan Hubab bin Mundzir ra, seorang shahabat yang dianggap paling mengetahui daerah itu.
Khilafah akan Mengakhiri Penjajahan
Fakta menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah sistem sekuler yang diwariskan oleh penjajah Belanda, kemudian dilanjutkan dan dipertahankan oleh AS. Maka wajar bila kekuatan kolonialis masih bisa terus mengontrol urusan rakyat Indonesia melalui sistem tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia saat ini memiliki sejumlah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kolonialis untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia. Dengan hak legislasi ada di tangan wakil rakyat, maka negara-negara kolonialis itu, melalui infiltrasi kepada wakil-wakil rakyat yang dilakukan dengan berbagai cara, dengan mudah bisa mempengaruhi produk hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan oleh wakil rakyat itu. Hasilnya, lahir lah hukum dan perundang-undangan yang pro kepentingan penjajah. Lihatlah UU seperti UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan lainnya.
Di dalam Daulah Khilafah, seluruh hukum dan perundang-undangan yang akan diterapkan harus berlandaskan dalil-dalil syara’. Karena itu, Khalifah tidak memiliki pilihan lain kecuali mengambil syariah dan peraturan yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan metode ini, kedaulatan benar-benar berada di tangan syariah, bukan di tangan wakil rakyat. Dengan cara ini, kekuatan penjajah tidak mempunyai peluang untuk memanfaatkan proses legislasi demi kepentingan mereka. Maka, pintu penjajahan telah tertutup sejak dini.
Sistem Pemerintahan Indonesia Saat Ini Membuat Penguasa Tidak Mudah Dimintai Pertanggungjawaban. Hanya dalam Khilafah, Kontrol yang Ketat Bisa Dilakukan
Sesuai Pasal 5, pasal 7B, dan pasal 20 UUD 1945 yang telah mengalami amandemen IV (Tahun 2003), Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Mahkamah Konstitusi memutus pelanggaran konstitusi apa yang dilakukan oleh Presiden. Sementara, Presiden bersama DPR sepenuhnya bebas membuat undang-undang apa pun, diantaranya undang-undang yang dapat mencegah rakyat memiliki akses guna melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Contoh mutakhir adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara, di mana di dalamnya terdapat ketentuan yang dapat membuat sejumlah informasi penting yang menyangkut rakyat banyak tidak dibuka untuk publik; atau Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan bahwa para pejabat di sektor keuangan ini tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakannya dalam memberikan Bantuan Likuiditas guna menghadapi krisis finansial global. Demikianlah, ketentuan dan mekanisme dibuat sedemikian rupa sehingga pada akhirnya rakyat tidak bisa melakukan kontrol dan koreksi terhadap pemerintah.
Dalam Daulah Khilafah, kepala negara atau Khalifah bukanlah seorang raja atau seorang diktator. Khalifah tidak dapat mengganti atau mengubah syariah Islam sesuka hatinya. Dalam Daulah Khilafah, upaya meminta pertanggungjawaban penguasa bukan sekadar hak, tapi merupakan kewajiban dari setiap warga, karena amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلْيِكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doamu.” (Hr. Tirmidzi)
Jadi, dalam Daulah Khilafah setiap orang, kelompok, partai, anggota Majlis Umat atau qadhi Mahkamah Madzalim bisa mengontrol dan mengoreksi Khalifah. Islam memerintahkan untuk memberhentikan seorang Khalifah jika terbukti memerintah bukan dengan syariah Islam, atau jika bersikap dzalim kepada rakyatnya. Pemakzulan ini merupakan sebuah kewajiban untuk menghilangkan kedzaliman. Maka, ketika kedzaliman terjadi, masyarakat berhak mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Madzalim. Jika kedzaliman itu terbukti dilakukan oleh Khalifah, maka Mahkamah Madzalim berhak memberhentikannya.
Khilafah Akan Menghapus Korupsi Politik
Korupsi politik senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia. Namun masyarakat seringkali salah mengira. Mereka menganggap korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal fakta menunjukkan bahwa sistemlah yang menghasilkan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi.
Salah satu bentuk korupsi politik yang paling menonjol adalah dengan memperjual-belikan pasal-pasal dalam undang-undang atau keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran. Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya, anggota lembaga legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka. Atau mengatur besaran anggaran dan person tertentu dalam jabatan publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang. Tertangkapnya sejumlah anggota DPR dalam kasus suap menunjukkan bahwa praktek seperti itu memang berlangsung secara nyata. Karena itu, uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar bisa menjadi anggota parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan cara inilah orang-orang yang bermental korup justru yang paling banyak terjaring masuk ke parlemen. Tak mengherankan, jika lembaga perwakilan rakyat itu lebih menjadi wadah untuk mengamankan kepentingan individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan secara bersama-sama. Inilah fenomena ”korupsi berjamaah”.
Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majlis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan menjual belikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariah Islam. Dengan cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem demokrasi.
BAB II
SISTEM EKONOMI
Negara Wajib Memenuhi Kebutuhan Pokok Setiap Rakyat
Menyelesaikan Masalah Kemiskinan Melalui Distribusi yang Adil
Masalah kemiskinan sesungguhnya berpangkal pada buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Karena itu, masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan tuntas dengan cara menciptakan pola distribusi yang adil. Di mana setiap warga negara dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dan diberi kesempatan yang luas untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Kesalahan sistem ekonomi Kapitalis yang diterapkan saat ini adalah, bahwa upaya penghapusan kemiskinan difokuskan hanya pada peningkatan produksi, baik produksi total negara maupun pendapatan per kapita, bukan pada masalah distribusi. Maka sistem ekonomi Kapitalis tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kemiskinan karena titik pusat persoalannya, yaitu distribusi kekayaan, tidak ditata sebagaimana semestinya.
Akibatnya, pemerintahan yang datang silih berganti, termasuk di Indonesia, selalu mengarahkan pandangan mereka pada pertumbuhan produksi serta peningkatan pendapatan rata-rata penduduk, namun tidak pernah memberi perhatian pada persoalan bagaimana kekayaan tersebut didistribusikan dengan adil di tengah masyarakat. Padahal, dari waktu ke waktu, seiring dengan meningkatnya produksi, telah terjadi penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Pihak yang kuat meraih kekayaan lebih banyak melalui kekuatan yang mereka miliki. Sedangkan yang lemah semakin kekurangan, karena kelemahan yang ada pada diri mereka. Hal ini tak ayal semakin menambah angka kemiskinan.
Islam memberikan penyelesaian masalah kemiskinan ini dengan cara yang unik. Intinya, harus ada pola distribusi yang adil. Soal keadilan distribusi ini disinggung dalam al-Quran. Allah SWT. berfirman:
“… Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras syariatannya.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7)
Secara ekonomi, negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa, berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah, dan di dalamnya tidak ada pihak yang mendzalimi ataupun didzalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (produksi dan industri serta pertanian, distribusi dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll, yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain.
Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan, melalui instrumen seperti zakat, shadaqah, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan.
Publik Mendapatkan Keuntungan dari Sumberdaya Alam
Sistem ekonomi Kapitalis memberikan peluang kepada perusahaan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya alam yang dimiliki sebuah negara melalui pemberian ijin konsesi pertambangan, hak pengusahaan hutan, atau hak istimewa lain. Sementara, sumberdaya alam yang sudah dikelola oleh perusahaan negara juga tak luput dari sasaran. Cepat atau lambat semua akan dialihkan juga kepada perusahaan swasta melalui kebijakan privatisasi. Akibatnya, tentu saja hasil dari sumberdaya alam itu lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan swasta, sementara rakyat justru harus menghadapi kesulitan. Setelah diprivatisasi pasti akan terjadi kenaikan harga – satu jalan guna memungkinkan perusahaan swasata itu meraup untung lebih besar. Sebagai contoh, penelitian dari Universitas Indonesia menunjukkan adanya kenaikan harga komoditas energi sejak tahun 1992-2005 baik untuk minyak, gas maupun listrik.[2] Demikianlah, saat segelintir orang meraup keuntungan yang luar biasa besar dengan menguasai sumber-sumberdaya alam, khususnya energi, masyarakat umum justru terpukul oleh harga energi yang semakin tak terjangkau. Setiap saat, warga negara harus bersiap menghadapi kenaikan tagihan gas dan listrik sehingga belanja untuk sektor yang semestinya tidak perlu itu justru semakin hari semakin besar. Akibatnya, rakyat secara sistemik semakin termiskinkan.
Islam menetapkan sumberdaya alam, khususnya energi sebagai salah satu kekayaan milik umum. Rasulullah saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإَِ وَالنَّارِ»
“Umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (Hr. Ahmad)
Sebagai pemilik, maka seluruh rakyat harus bisa menikmati hasil dari sumberdaya alam tersebut. Karena itu, negara wajib mengelola sumberdaya alam itu dengan sebaik-baiknya, bisa melalui semacam perusahaan milik negara (BUMN), untuk kesejahteraan rakyat. Negara tidak boleh sama sekali menyerahkan aset sumberdaya alam kepada pihak swasta. Sebab, tindakan ini sama saja dengan menyerahkan sesuatu yang bukan miliknya kepada pihak lain, yang tentu akan merugikan sang pemilik, yaitu rakyat. Daulah Khilafah akan memastikan bahwa rakyat bisa mendapatkan keuntungan dari sumber-sumberdaya alam miliknya itu, khususnya sumberdaya energi, dengan jalan memberikannya secara gratis atau dengan harga yang terjangkau bagi seluruh warga negara.
Penghapusan Pajak yang Dzalim
Dalam sistem Kapitalisme, pendapatan utama negara adalah dari pajak. Negara akan terus berusaha meningkatkan perolehan pajak agar apa yang disebut biaya pembangunan semakin besar didapat. Berbagai upaya terus dilakukan. Obyek pajak dan mekanisme pajak baru terus diciptakan. Hasilnya, rakyat tentu makin terbebani. Pajak Penghasilan akan menggerogoti gaji dan pendapatan rakyat; Pajak Penjualan membuat beban belanja berbagai kebutuhan pokok, termasuk makanan dan obat-obatan, menjadi semakin meningkat; sedangkan pajak atas bahan bakar minyak semakin mencekik para pelaku industri dan petani.
Islam memiliki cara tersendiri untuk mengatur pendapatan negara. Diantaranya diperoleh dari hasil kepemilikan umum seperti minyak dan gas; dari sektor pertanian seperti kharaj; dari sektor industri seperti zakat atas barang dagangan; dll. Dengan demikian, Khilafah mampu memperoleh pemasukan yang besar. Pada saat yang sama mampu mendorong aktivitas ekonomi yang luar biasa. Mengenai pajak, Islam membebaskan manusia dari beban pajak yang dzalim. Kalaupun ada pajak, itu hanya dipungut dari orang yang masuk kategori kaya dan sifatnya hanya sementara hingga kebutuhan dana tercukupi. Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يَدْخُلُو الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسِ»
“Tidak akan masuk surga para pemungut pajak (cukai).” (Hr. Ahmad)
Investasi Dalam Negeri Menggantikan Investasi Asing
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang benar dan konsisten, Baitul Maal dari Daulah Khilafah diyakini akan mampu meraup dana yang cukup besar. Selanjutnya, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan, khususnya sektor yang masuk pada apa yang disebut dengan istilah kewajiban layanan publik atau PSO (Public Service Obligation), yakni sektor pendidikan, kesehatan, dan inftrastruktur (jalan, jembatan, listrik, air, telepon, dan lainnya).
Juga untuk membiayai industri berat, seperti industri persenjataan, industri baja, dan sebagainya, dan proyek-proyek besar, seperti pembangunan bendungan dan jaringan telekomunikasi di seluruh negeri, kredit bebas bunga untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat serta bantuan negara untuk rakyat yang memerlukan. Semua itu insya Allah akan dapat direalisasikan tanpa melibatkan investasi atau pinjaman asing.
Membebaskan dari Jebakan Hutang
Pada dasarnya Islam tidak melarang individu, perusahaan, dan negara meminjam uang dari pihak lain. Tapi pinjaman harus tidak boleh dengan bunga dan tidak boleh dari negara penjajah atau lembaga internasional seperti IMF, World Bank dan lainnya, yang ditengarai menjadi alat negara penjajah, apalagi dengan persyaratan-persyaratan yang menjerat. Bila Islam menolak segala bentuk penjajahan, maka Islam juga melarang segala bentuk hubungan atau perjanjian yang memberi jalan bagi penjajahan itu.
Menurut Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2007 pemerintah Indonesia dan swasta mempunyai total hutang Luar Negeri sebesar US$ 136,64 milyar. Pada APBN 2009, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri mencapai Rp 61,6 trilyun. Ini sudah lebih besar ketimbang pinjaman baru yang jumlahnya hanya Rp 52,2 Trilyun. Hutang pemerintah keseluruhan sudah mencapai 35% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), di mana 16% adalah hutang Luar Negeri dan 19% adalah hutang Dalam Negeri (dalam bentuk Surat Utang Negara, Obligasi dan sebagainya).
Sebagaimana negara-negara penghutang lain di seluruh dunia, Indonesia juga telah masuk pada apa yang disebut jebakan hutang (debt trap). Indonesia telah membayar bunga pinjaman hingga miliaran dollar AS, yang secara nominal lebih besar daripada pokok hutangnya, namun demikian Indonesia masih tetap terlilit hutang. Hutang-hutang seperti ini jelas haram karena mengandung riba dan memberi jalan bagi penjajahan atas negeri ini. Allah SWT berfirman:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. al-Baqarah [2]: 275)
Daulah Khilafah akan menolak dengan keras hutang atau pinjaman-pinjaman dana seperti itu, dan berusaha keras untuk membebaskan negeri-negeri Muslim dari jebakan hutang. Juga akan membongkar kejahatan negara-negara Kapitalis yang menjajah negara-negara lemah melalui jebakan hutang. Khilafah juga akan membantu negara-negara miskin yang terlilit hutang untuk bersama-sama mengenyahkan kapitalisme global yang eksploitatif itu.
Menghapus Sumber Inflasi
Alasan utama di balik semakin beratnya beban kehidupan ekonomi masyarakat adalah makin tingginya biaya hidup akibat turunnya nilai mata uang domestik yang berupa fiat money. Nilai mata uang domestik yang semakin lemah menyebabkan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat terus naik itu.
Ditambah dengan terus terjadinya depresiasi rupiah terhadap dollar AS, membuat nilai rupiah terus mengalami penurunan terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS. Keadaan ini sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional Barat, yang memproduksi barang-barang di Indonesia dengan biaya murah, kemudian mengekspornya ke negara-negara Barat dengan harga yang lebih tinggi.
Inflasi dan depresiasi mata uang yang membuat daya beli masyarakat terus mengalami penurunan, dapat diatasi dengan menetapkan mata uang yang tahan terhadap tekanan inflasi dan terhindar dari depresiasi maupun apresiasi terhadap mata uang asing yang merugikan. Itulah mata uang dinar dan dirham. Dengan menggunakan mata uang ini, kondisi ekonomi negara akan lebih stabil dan kekayaan masyarakat akan dapat terlindungi secara riil dan terhindar dari inflasi.
Membangun Industri
Daulah Khilafah akan mengembangkan dua jenis industri utama yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas. Pertama, industri-industri yang berkaitan dengan kekayaan milik umum, seperti kilang minyak dan pemurnian gas alam. Karena minyak dan gas alam termasuk milik umum, maka status kepemilikan berbagai industri yang terkait dengan komoditas itu juga harus dikuasi oleh negara. Negara mengelolanya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Kedua, industri baja dan persenjataan serta industri berat lain. Industri ini dibangun untuk bisa menghasilkan militer yang kuat demi pertahanan negara yang kokoh.
Daulah Khilafah akan berupaya keras membangun kedua jenis industri itu secara efisien, yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan negara, tapi juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Teknologi Militer
Hingga saat ini kekuatan militer Indonesia masih sangat tergantung pada teknologi dari luar negeri. Sementara itu, Amerika Serikat sebagai negara paling unggul dalam industri militer ketika menjual peralatan militernya ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, tentu tidak sekadar untuk tujuan mendapat keuntungan finansial, tetapi juga untuk memperkuat pengaruh dan cengkramannya di Indonesia. Maka, AS pasti akan menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pasokan peralatan dan teknologi militer dari AS. Persyaratan itu pasti terkait dengan kepentingan politik dan militer AS di Indonesia. Selanjutnya, AS akan menciptakan cara agar negara-negara pengimpor peralatan militer itu akan terus bergantung kepadanya. Ketergantungan itu digunakan sebagai alat penekan saat kepentingan AS di negera itu terancam. Kebijakan embargo senjata AS ke Indonesia misalnya, adalah wujud dari politik persenjataan yang dimainkan oleh AS untuk menekan Indonesia. Disamping itu, AS juga tidak sungguh-sungguh membantu negara lain untuk menjadi kuat secara militer. Jadi yang boleh dikirim ke negara lain adalah peralatan militer biasa saja, bukan yang benar-benar canggih untuk perang yang sesungguhnya.
Salah satu jalan untuk menjadikan Daulah Khilafah tidak tergantung secara militer kepada negara lain adalah dengan cara memproduksi dan mengembangkan teknologi dan industri militer sendiri. Kebijakan ini membuat Daulah Khilafah akan mandiri dan senantiasa memiliki persenjataan yang paling canggih dan paling kuat pada zamannya. Langkah tersebut juga menjamin Daulah Khilafah mempunyai senjata kapan saja diperlukan, termasuk untuk kepentingan psy-war dengan tujuan menggetarkan lawan, sebagaimana perintah Allah SWT:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (Qs. al-Anfaal [8]: 60)
Pengembangan Pertanian
Indonesia memiliki sumberdaya pertanian yang luar biasa, utamanya lahan pertanian yang sangat luas. Tapi, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Banyak orang yang memiliki lahan sangat luas, tapi tidak dikelola dengan benar, dan sengaja hanya dijadikan sebagai objek investasi spekulatif. Sementara bila ada orang yang mengolah lahan pertanian, dia hanya sebagai buruh tani, bukan pemilik lahan. Jadi, ada begitu banyak orang yang mengelola lahan pertanian, tapi mereka tidak memiliki lahan itu. Mereka hanya membayar sewa kepada pemiliknya.
Islam memandang bahwa persoalan pertanian pada hakikatnya berhubungan dengan pemanfaatan lahan pertanian itu sendiri. Dengan aturan yang jelas, Islam menyelesaikan persoalan lahan pertanian dengan menetapkan larangan pemisahan antara pemilik dan pengelola lahan pertanian. Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيسَتْ لأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ»
”Barangsiapa memakmurkan (mengelola) tanah yang tidak menjadi milik siapa pun, maka dia berhak atas tanah tersebut.” (Hr. Bukhari)
Islam juga menetapkan bahwa negara berhak menyita lahan pertanian dari pemiliknya jika lahan itu tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut. Ketentuan ini mendorong pemanfaatan lahan pertanian secara optimal oleh pemilik lahan, yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi pertanian. Daulah Khilafah akan memberikan bantuan saprotan (sarana produksi pertanian) atau pinjaman dana tanpa bunga untuk modal mengelola lahan pertanian dengan sebaik-baiknya. Bila kebijakan semacam ini diterapkan di Indonesia, tentu akan dapat meningkatkan kemampuan pertanian negara, sehingga ketahanan pangan yang merupakan salah satu unsur penting dalam membangun kesejahteraan dan kemandirian dalam sebuah negara, benar-benar dapat diwujudkan.
[1] Setelah China, India dan Amerika Serikat
[2] Untuk sektor rumah tangga, harga listrik naik dari Rp. 129 di tahun 1992 / KWh menjadi Rp. 563 KWh di tahun 2005.
InsyaAlloh akan menyusul BAB III - BAB IV, semoga bermafaat bagi kita semua.
Di perbolehkan dan di anjurkan Mencopy dan menyebarkannya..
0 comments: