0

MENGAPLIKASIKAN AL-QURAN SEBAGAI PETUNJUK DAN SUMBER HUKUM 1 ( Serial Ramadhan )

Labels:

Definisi al-Quran
 
a. Definisi Al-Quran Menurut Bahasa (Literal)
Sebagian ulama berpendapat, bahwa al-Quran adalah bentuk mashdar dari wazan "fu'laan"; seperti ghufraan, syukraan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, al-Quran adalah mahmuuz al-laam dari kata qara`a – yaqra`u – wa qur`anan; yang bermakna talaa – yatluw – tilaawatan (membaca).
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt;


"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya".
(TQS Al-Qiyamah [75]: 16-19)

Menurut Imam Syafi'iy, dan pendapat beliau ini dianggap lebih shahih oleh al-Hafidz al-Suyuthiy, bahwa al-Quran itu adalah nama ('alam) yang tidak memiliki bentuk pecah (musytaq). Al-Quran adalah nama untuk Kitabullah, seperti nama-nama bagi Kitabullah yang lain (Injil, Taurat, dan Zabur). Pendapat terakhir ini lebih kuat, dan layak untuk dipegang. [Dr. Mohammad Ali Hasan, Al-Manaar fi 'Uluum al-Quran, hal. 7]

b. Definisi Al-Quran Menurut Pengertian Syariat
Para ulama ushul dan kalam, dan para ulama pada disiplin ilmu yang lain telah mendefinisikan dengan beragam definisi. Ada yang mendefinisikan secara panjang lebar, ada pula yang ringkas. Hanya saja dua definisi tersebut, baik yang panjang lebar dan ringkas, tidak memberikan batasan yang tegas. Definisi yang paling baik, dan paling lurus adalah definisi yang menyatakan, bahwa al-Quran adalah kalamullah, sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Mohammad saw, dan diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya dihukumi sebagai ibadah". [Ibid, hal. 7]
Dengan demikian, definisi al-Quran adalah;

كَلاَمُ اللهِ اْلمُعْجِزِ اْلمُنْـزِلُ عَلىَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ السَّلاَمَ اَلْمَنْقُوْلُ تَوَاتِرًا وَالْمُتَعَبَّدُ بِهِ تِلاَوَةً
"Kalaamullah, sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Mohammad saw, dan diriwayatkan secara mutawatir, dan membacarnya dihukumi ibadah".

Adapun mengapa didefinisikan sebagai "kalaam al-Allah al-mu'jiz' (kalamullah yang penuh mukjizat)", hal ini ditujukan untuk membedakan al-Quran dengan kalam-kalam yang lain. Dengan kata lain, al-Quran bukanlah kalam manusia, malaikat, dan jin; nabi, dan Rasul. Oleh karena itu, hadits qudsiy dan hadits nabawiy tidaklah termasuk al-Quran. [Ibid, hal.8]
Sedangkan mengapa dibatasi dengan definisi "al-munzil 'ala Nabi Mohammad saw", ini untuk membedakan al-Quran dengan kitab-kitab sebelumnya; Zabur, Taurat, Injil, dan shuhuf. Adapun definisi yang menyatakan "al-manquul tawatiran"; hal ini untuk membedakan al-Quran dengan "al-Quran yang diriwayatkan secara ahad; qiraat syadz yang tidak mutawatir. Atas dasar itu, riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sedangkan batasan definisi terakhir "al-muta'abbid bihi tilaawatan"; hal ini untuk membedakan al-Quran dengan hadits qudsiy. Walaupun hadits qudsiy juga dinisbahkan kepada Allah, akan tetapi, membacanya tidaklah dianggap ibadah. [ibid, hal. 8]

Cara al-Quran Diturunkan Dari Lauh al-Mahfuudz
Menurut Imam Suyuthiy, para ulama berbeda pendapat mengenai cara turunnya al-Quran dari Lauh al-Mahfudz. Pendapat yang paling shahih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa al-Quran turun secara lengkap dan sempurna dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia pada malam lailatul qadar di bulan Ramadlan. Setelah itu, ia turun secara berangsur-angsur selama kurun waktu 20, 23, atau 25 tahun sesuai dengan perbedaan pendapat dalam hal lamanya Rasulullah saw berdiam di Mekah pasca pengangkatannya sebagai Rasul. Pendapat ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam al-Hakim, dari Ibnu 'Abbas, bahwasanya ia berkata, "Al-Quran itu diturunkan secara serentak dan lengkap pada malam lailatul qadar ke langit dunia; dan ia berada di gugusan bintang. Setelah itu, Allah swt menurunkannya kepada Rasulullah saw secara berangsur-angsur."[HR. Imam Hakim]. Diriwayatkan juga oleh Imam al-Hakim, al-Nasaaiy, dari Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya ia berkata, "Al-Quran itu diturunkan secara serentak ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Setelah itu, ia diturunkan dalam rentang waktu 20 tahun."[HR. Al-Hakim dan al-Nasaaiiy] [Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal. 39-40]
Wahyu yang pertama kali turun adalah 5 ayat dari surat al-Qalam. Ayat ini turun pada tanggal 17 Ramadlan, saat Rasulullah saw bertahannuts di gua Hira'.

Perbedaan Antara Al-Quran dengan Hadits Qudsiy
Hadits qudsiy adalah sesuatu yang dikhabarkan Allah swt kepada Nabinya melalui ilham atau impian; lalu Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan beliau sendiri. [Fathur Rahman, IkhtisharMushthalaah al-Hadits, hal. 50]
Perbedaan antara al-Quran dan hadits qudsiy adalah sebagai berikut;
1. Semua lafadz al-Quran adalah mukjizat dan mutawatir; sedangkan hadits qudsiy tidak seperti itu.
2. Ketentuan hukum yang berlaku bagi al-Quran tidak berlaku bagi hadits qudsiy. Misalnya, orang yang berhadats kecil dilarang menyentuh al-Quran. Ketentuan ini tidak berlaku bagi hadits qudsiy.
3. Setiap huruf dari al-Quran yang dibaca oleh seseorang akan dibalas dengan pahala sepuluh kebaikan. Sedangkan membaca hadits qudsiy tidak dihitung sebagai ibadah yang memperoleh pahala.
4. Al-Quran tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sedangkan hadits boleh diriwayatkan dengan maknanya saja.

Fungsi Al-Quran
Fungsi al-Quran adalah sebagai petunjuk (huda), penjelasan (bayyinaat), dan pembeda antara haq dengan bathil (furqa). Hal ini telah dijelaskan di dalam firman Allah swt;

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang bathil.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185).

Frasa awal ayat ini menjelaskan bahwa, al-Qur’an al-Karim telah diturunkan Allah SWT di bulan Ramadhan pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dan pada malam yang diberkati (Lailatul Mubârakah). Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi…” (Qs. ad-Dukhân [44]: 3).

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar).” (Qs. al-Qadar [97]: 1)

Ali ash-Shabuni menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Lail Mubârakah” (malam yang diberikahi) adalah malam yang sangat agung dan mulia, yaitu Lailatul Qadar; malam yang terdapat di bulan yang penuh berkah (bulan Ramadhan) . Ibnu al-Jauzi menyatakan, “…al-Qur’an telah diturunkan pada Lailatul Qadar.”
Imam al-Qurthubi berkata, “…Lailatul Qadar disebut sebagai malam yang penuh keberkahan, sebab, pada malam itu Allah SWT menurunkan kepada hambaNya al-Qur’an al-Karim yang di dalamnya berisi keberkahan, kebaikan dan pahala.”
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Allah SWT telah memulyakan bulan Ramadhan diantara bulan-bulan yang lain. Ini bisa dimengerti karena bulan Ramadhan telah dipilih Allah SWT untuk menurunkan al-Qur’an al-Adzim.”
Di dalam sunnah juga dituturkan, bahwa Ramadhan adalah bulan dimana Allah SWT menurunkan kitab-kitabNya kepada para Nabi. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu al-Asqa’ bahwa Rasulullah Saw berkata:
“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Sedangkan Taurat diturunkan pada malam keenam bulan Ramadhan; Injil diturunkan pada malam ketiga belas, dan al-Qur’an diturunkan pada malam keempat belas bulan Ramadhan.” [HR. Imam Ahmad].

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah disebutkan, “Sesungguhnya Zabur diturunkan pada malam kedua belas di bulan Ramadhan. Sedangkan Injil diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan.” [HR. Ibnu Mardawaih].
Yang dimaksud dengan al-Qur’an di sini adalah al-Qur’an yang diturunkan secara lengkap dari Lauh Mahfudz ke langit dunia (Baitul ‘Izzah). Setelah itu, al-Qur’an diturunkan dari langit bumi kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur.
Al-Hafidz as-Suyuthi mengatakan, “Berkaitan dengan firman Allah SWT surat al-Baqarah [2]: 185 dan ad-Dukhân [44]: 4, ada tiga pendapat berbeda mengenai cara diturunkannya al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz. Pendapat pertama —dan ini adalah pendapat yang paling shahih— menyatakan bahwa al-Quran diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia secara lengkap. Peristiwa ini terjadi pada malam Lailatul Qadar (bulan Ramadhan). Setelah itu, al-Qur’an diturunkan dari langit dunia kepada ummat manusia secara berangsur-angsur selama 20 tahun, 23 tahun, atau 25 tahun sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw setelah beliau diutus oleh Allah SWT…”
Ayat ini juga menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai hudan li an-nâs (petunjuk bagi manusia), bayyinât min al-hudâ (penjelas), dan al-furqan (pemisah atau pembeda antara yang kebenaran dan kebathilan).
Imam al-Qurthubi mengatakan, “Tafsir dari firman Allah SWT, hudan li an-nâs wa bayyinât min al-hudâ wa al-furqân adalah sebagai berikut. Hudâ dibaca nashab karena ia berkedudukan sebagai hâl dari al-Qur’an. Susunan kalimat semacam ini bermakna, hâdiyan lahum (petunjuk kepada mereka). Sedangkan wa bayyinât berkedudukan sebagai ‘athaf ‘alaih”. Arti ‘al-hudâ sendiri adalah al-irsyâd wa al-bayân (petunjuk dan penjelasan). Maknanya adalah, al-Qur’an dengan keseluruhannya, baik ayat-ayat muhkâm, mutasyâbihât, nâsikh dan mansûkh jika dikaji dan diteliti secara mendalam akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasehat-nasehat serta hukum-hukum yang penuh hikmah. Adapun al-furqân bermakna mâ farraqa bain al-haq wa al-bâthil (semua hal yang bisa memisahkan antara yang haq dengan yang bathil).
Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa hudan li an-nâs bermakna rasyâdan li al-nâs ilâ sabîl al-haq wa qashd al-manhaj (petunjuk kepada ummat manusia menuju jalan kebenaran dan metode yang lurus). Adapun makna dari bayyinât min al-hudâ adalah wâdlihât min al-hudâ (petunjuk-petunjuk yang sangat jelas); artinya bagian dari petunjuk yang menjelaskan tentang hudud Allah, farâ’idh-Nya, serta halal dan haramNya. Sedangkan al-furqân berarti al-fashl bain al-haq wa al-bâthil (pemisah antara kebenaran dan kebathilan). Makna ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan dari al-Suddi, “Maksud dari firman Allah SWT, wa bayyinât min al-hudâ wa al-furqân adalah bayyinât min al-halâl wa al-harâm (penjelasan yang menjelaskan halal dan haram).

Al-Hafidz as-Suyuthi dalam tafsir Jalâlain menjelaskan bahwa al-hudâ bermakna “petunjuk yang dapat menghindarkan seseorang dari kesesatan”. Sedangkan bayyinât min al-hudâ bemakna, “ayat-ayat yang sangat jelas serta hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar.” Al-Furqân sendiri bermakna “pemisah antara kebenaran dan kebathilan.”
Menukil pendapat Ibnu ‘Abbas, Fairuz Abadi menyatakan, “Yang dimaksud dengan firman Allah SWT hudân li al-nâs adalah al-Qur’an itu itu berfungsi memberi petunjuk kepada manusia dari kesesatan. Sedangkan frasa wa bayyinât min al-hudâ bermakna perkara-perkara agama yang sangat jelas dan tidak samar. Adapun frasa al-furqân berarti halal dan haram, hukum-hukum dan hudud, serta semua hal yang menghindarkan seseorang dari syubhat (kesamaran).”
Ayat di atas telah menggambarkan betapa Allah SWT telah memulyakan dan mengagungkan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan yang lain. Sebab, di bulan itu Allah SWT menurunkan al-Qur’an yang berisikan petunjuk, penjelasan serta pemisah antara yang haq dan bathil. Tidak hanya itu saja, al-Qur’an adalah sumber segala sumber hukum bagi kaum Muslim yang tidak boleh diingkari dan diacuhkan. Dalam masalah ini Imam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa tidak mau membaca al-Qur’an berarti ia mengacuhkannya dan barangsiapa membaca al-Quran namun tidak menghayati maknanya, maka berarti ia juga mengacuhkannya. Barangsiapa yang membaca al-Quran dan telah menghayati maknanya akan tetapi ia tidak mau mengamalkan isinya, maka ia pun berarti mengacuhkannya.” Selanjutnya Imam Ibnu Taimiyyah menyitir sebuah ayat:

“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku! Sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini suatu yang diacuhkan.” (Qs. al-Furqân [25]: 30).

Al-Qur’an Sebagai Manhajul Hayah (Metode Hidup)
Pada dasarnya, al-Qur’an adalah manhajul hayah bagi kaum Muslim. Pedoman hidup yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan, sekaligus sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan. Atas dasar itu, setiap Muslim diperintahkan untuk selalu berjalan sesuai dengan al-Qur’an, dan siapa saja yang berjalan sesuai dengan al-Qur’an tentu mereka akan mendapatkan petunjuk, penjelas, sekaligus akan diberi furqân (kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah).
Benar, al-Quran wajib dijadikan sebagai pedoman hidup kaum Muslim di seluruh aspek kehidupannya. Sebab, al-Quran telah menjelaskan seluruh masalah hidup, baik yang berhubungan dengan ekonomi, politik, kenegaraan, dan lain sebagainya. Allah swt berfirman;

"Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [al-An'aam:38]

Imam Qurthubiy, "Yang dimaksud al-Kitab di sini adalah ketetapan Allah yang ada di dalam Lauh al-Mahfudz. Sesungguhnya semua kejadian yang ada di muka bumi ini telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Ada yang menyatakan, bahwa yang dimaksud "al-Kitab" di atas adalah al-Quran. Artinya, tak satupun perkara agama yang kami biarkan kecuali semuanya telah kami jelaskan di dalam al-Quran; kadang-kadang dengan dilalah (petunjuk) yang jelas, kadang-kadang hanya dijelaskan secara global, sedangkan penjelasan rincinya dijelaskan oleh Rasulullah saw; atau dijelaskan oleh ijma', atau qiyas yang didasarkan pada nash-nash al-Quran. Allah swt berfirman di ayat yang lain, "Sesungguhnya, kami telah menurunkan al-Quran kepada kamu untuk menjelaskan segala sesuatu."[al-Nahl: 49]. Allah swt juga berfirman, "Kami telah menurunkan kepadamu al-Dzikr untuk menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka."[al-Nahl: 44]. Allah swt juga berfirman, ""Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."[al-Hasyr:7].
Oleh karena itu, ayat ini dan surat al-Nahl mencakup juga apa-apa yang tidak disebutkan di dalam al-Quran. Benarlah informasi Allah swt yang menyatakan, bahwa tidak ada satupun yang dilupakan di dalam al-Quran, kecuali pasti Ia akan menyebutkannya di dalam al-Quran, baik dalam bentuk rinci maupun pokok-pokoknya saja. Allah swt juga menegaskan, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian, agama kalian."[al-Maidah:3]
Surat al-An'am di atas, dan masih banyak ayat-ayat yang lain, menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk menjelaskan dan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Islam bukan sekedar agama ritual, akan tetapi ia adalah agama sempurna yang berisikan aturan-aturan multidimensional untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam juga mengatur urusan ekonomi, sosial budaya, negara, kemasyarakatan, politik, dan sebagainya.
Seorang Muslim tidak boleh mencukupkan diri hanya mengerjakan dan melaksanakan ibadah-ibadah ritual saja, akan tetapi berdiam diri atau tidak mau melaksanakan perintah-perintah Allah yang lain; misalnya menegakkan muamalat yang Islamiy, menegakkan peradilan yang Islamiy, pemerintahan Islamiy, dan sebagainya. Alasannya, Allah swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk masuk ke dalam Islam secara kaaffah. Allah swt berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”[Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247]
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.
Imam Thabariy menyatakan : “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”[Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/33]
Ayat di atas merupakan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa kaum mukmin diperintahkan untuk menjalankan perintah Allah secara menyeluruh; baik yang menyangkut ibadah ritual maupun sosial. Dengan kata lain, al-Quran dan Sunnah wajib dijadikan sebagai manhaj hidup (way of life) bagi kaum Muslim. Alasannya, al-Quran dan Sunnah telah menjelaskan segala sesuatu dengan aturan dan solusi yang tuntas, memuaskan akal dan menentramkan hati.........


bersambung ke MENGAPLIKASIKAN AL-QURAN SEBAGAI PETUNJUK DAN SUMBER HUKUM bagian 2 ( Serial Ramadhan )

0 comments:

Posting Komentar